|
Ahmad Anwar
Musyafa’
Mahasiswa UIN
Walisongo Semarang
dan Mahasantri Monash Institute
|
Dewasa ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengeluarkan kebijakan yang sangat kontroversial. Pasalnya, belum lama fluktuasi BBM ramai diperbincangkan di khalayak umum, ditengah gemuruh badai terkait pencalonan Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) tengah berlangsung, secara mendadak Jendral Sutarman yang berstatus sebagai Kapolri aktif begitu mudahnya “dicopot” oleh presiden Jokowi dan digantikan oleh Komjen Badrodin Haiti. Padahal berdasarkan masa kepemimpinan Polri yang diemban, Sutarman baru memasuki masa pensiun pada Oktober 2015 nanti.
Jokowi pun telah mengeluarkan Surat Keputusan Presiden (Keppres) terkait pemberhentian Sutarman yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi pada hari Jumat, 16 januari 2015. Selain mengeluarkan Keppres pemberhentian Jendral Sutarman, pada saat itu juga Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres tentang pengangkatan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri.
Adapun faktor yang melatar belakangi pencopotan Jendral Sutarman, kabarnya disebabkan oleh ketidak becusannya dalam menyelesaikan perkara “Obor Rakyat”. Menurut pakar komunikasi politik, Tjipta Lesmana, pencopotan Sutarman sebagai orang nomor satu di Korps Bhayangkara itu karena Presiden Jokowi benci kepada Sutarman. kebencian itu menurut Tjipta karena Sutarman dinilai tak becus menuntaskan kasus Majalah Obor Rakyat yang menuding Presiden Jokowi sebagai 'Capres Boneka.
Polemik
Kebijakan Jokowi memberhentikan Kapolri, Jendral Sutarman, mendapat reaksi keras dari pelbagai elemen masyarakat. Bahkan, kebijakan tersebut menjadi polemik dan bahan diskusi menarik dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua sudut pandang berdeda antara pihak yang pro dan kontra terkait pencopotan Jendral Sutarman.
Pertama,pihak yang mendukung kebijakan Jokowi. Mereka yang pro terhadap jokowi berdalih pada kinerja Kapolri, Sutarman, yang selama ini dianggap tidak bisa memunculkan gebrakan dalam menyelesaikan kasus hukum di Indonesia. Menurut Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran Bandung, Muradi mengatakan, ada kemungkinan Sutarman dicopot karena tak ada gebrakan menonjol hingga menjelang 100 hari kepemimpinan Presiden Jokowi pada 22 Januari nanti. Selain itu, Muradi juga berpendapat bahwa, program Sutarman dalam membenahi kepolisian juga mengalami degradasi
Kedua, pihak yang menolak pencopotan Jendral Sutarman sebagai Kapolri menganggap bahwa Presiden Jokowi terlalu buru-buru dalam menentukan kebijakan. Pasalnya, ditengah polemik gunjang-ganjing politik, dengan begitu mudahnya Presiden mengambil keputusan pemberhentian Kapolri.
Selain itu, faktor pemberhentian Sutarman sebagai Kapolri juga dipertanyakan sebagian orang. Sebab, ketika Sutarman telah resmi dicopot oleh Presiden melalui Keppres yang dikeluarkan pada 16 Januari 2015 lalu. Anehnya, waktu yang sama Keppres tentang pengganti Kapolri juga ikut dikeluarkan. Yakni, pengangkatan Wakapolri Komjen Badrodin sebagai Plt. Kapolri. Sontak langkah tersebut mendapat kritik dari Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra.
Yusril mengatakan melalui twitter pribadiya; “Mestinya Presiden dan DPR tahu bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan satu paket bukan dipisah. Sebab baik pengangkatan maupun pemberhentian Kapolri dua2nya harus dg persetujuan DPR,” kata Yusril melalui akun twitter pribadinya @Yusrilihza_Mhd , Sabtu (17/1/2015).
Dikutip dari Republika Online, Mantan Menteri Hukum dan Ham, Yusril kemudian menyebutkan, bisa saja Jokowi memberhentikan Kapolri dan kemudian mengangkat penggantinya tanpa persetujuan DPR. Namun, hal itu dapat dilakukan hanya karena alasan-alasan mendesak. Yakni, jika Kapolri melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keamanan negara.
Pernyataan Yusril ini merujuk kepada UU No 2 Tahun 2002 tentang Kapolri pasal 11 yang mengatur pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. Pada pasal 11 itu disebutkan pada poin ke lima yaitu, “Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dengan tidak adanya persetujuan yang diminta Jokowi kepada DPR untuk mengangkat Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas Kapolri, Yusril jadi mempertanyakan alasan-alasan apa yang membuat Presiden tergesa-gesa melakukan pergantian Kapolri. (Republika Online, 17 Januari 2015)
Hak Prerogatif?
Kebijakan jokowi yang dianggap ngawur oleh sebagian orang berimplikasi terhadap penyelewengan hak prerogatif yang dimiliki Presiden. Pasalnya, jika ditinjau dari sudut kewenangan Presiden, maka memang benar, Jokowi berhak mencopot Kapolri. Sebab, hal ini dipertegas dalam Pasal 10 UUD 1945 yang menyatakan bahwa, Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Menurut penjelasan UUD 1945, kekuasaan tersebut termasuk konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai kepala negara; kedudukan Presiden di dalam Pasal ini bukan sebagai Commander in Chief melainkan sebagai konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara, dan yang dimaksud dengan kekuasaan tersebut adalah, bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang komando atas angkatan perang Indonesia, melainkan wewenang menentukan hal-hal yang strategis saja.
Kendati demikian, merujuk pada pernyataan Yusril bahwa, Kepala Negara memang berhak memberhentikan Kapolri, namun jika dihadapkan dengan keadaan yang mendesak. Yakni; jika Kapolri melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keamanan negara.
Artinya, dalam konteks ini, kebijakan Jokowi perlu dikaji ulang. Sebab, walaupun memiliki hak istimewa, namun dia juga kode harus senantiasa patuh terhadap kode etik dan Undang-undang yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangang hingga berimplikasi terhadap kesimpang siuran nasib Kapolri Jendral Sutarman.
Tayang di Koran Wawasan