Siapa yang tak kenal Koesno Sosrodihardjo, atau Ir. H. Soekarno, fauding father terkemuka bangsa Indonesia. Tentu semua sepakat bahwa pria kelahiran Surabaya (6 Juni 1901 - 21 Juni 1970) ini merupakan ujung tombak pahlawan dalam rangka merebut kemerdekaan Negara Indonesia dari para tangan penjajah. Keberanian serta tekat teguh dalam mengorganisir pejuang terlihat jelas ketika Indonesia berhasil menjadi Negara merdeka di bawah komando kepemimpinannya.
Hingga kini, walaupun telah lama beliau pergi dari bumi pertiwi, namun sisa perjuangan yang ditorekannya tak pernnah surut dilindas zaman, meskipun usia kemerdekaan Indonesia sudah mencapai 70 tahun. Dan tentunya ini bukan umur yang muda bagi eksistensi negara yang telah menjalani dinamika berproses selama berpuluh-puluh tahun.
Dalam dimensi Negara merdeka, prioritas utama adalah mewujudkan kehidupan bangsa yang diamis, toleran, berkesatuan dan berkesejahteraan. Namun realita yang terjadi sekarang ini, tak sedikit dari masyarakat yang ber-KTP warga negara Indonesia (WNI) masih hidup jauh dibawah rata-rata.
|
Ahmad Anwar Musyafa' Alumnus Madrasah Aliyah Negeri Lasem (MANELA) Idolaku |
Bukti untuk mendukung argument tersebut adalah, realitas kehidupan keluarga I Nyoman Alus (45) yang tinggal di Gubuk reot selama 20 tahun di daerah Bali. Tragisnya bukan hanya tempat tinggalnya saja yang sangat memprihatinkan, namun pendidikan yang seharusya bisa dinikmati oleh anakn-anakya ternyata juga kandas di tengah jalan akibat tenaganya dialokasikan untuk membantu menghidupi keluarga.
Sebenarnya bukan hanya itu, sampel di atas adalah salah satu diantara sekian banyak keluarga yang mengalami nasib serupa bahkan lebih parah daripadanya, yang bahkan dapat kita temui dilingkungan sekitar, dan pastinya tidak akan bisa dinominalkan karena terlalu banyaknya rakyat yang hidup di bawah standar. Dan apabila Soekarno melihat realitas seperti ini pastilah beliau akan menangis terseduh-seduh. Astagfirullah!
Selain maraknya kehidupan yang tak logis dilingkungan masyarakat Indonesia, problem lain juga dialami oleh system perpolitikan yang cenderung membela kepentingan kelompok, yang hal ini dapat menimbulkan kebobrokan amat dahsyat bagi ksistensi suatu Negara. Coba renungkan bersama; dalam peta perpolitikansekarang ini, kepentingan yang muncul kebanyakan cenderung hanya ingin membuat suatu komutitas atau individu untung. Padahal khittah dan ghirah politik tidak “secetek” itu. Ya, politik dinobatkan sebagai alat untuk memihak kehidupan masyarakat bernegara. Dalam konteks ini, peran dan fungsi politik harus menguntungkan orang banyak. Bukan sekadar diberlakukan terhadap golongan yang hanya berkepentingan di dalamnya saja. Dan jikalau melihat dinamika percaturan politik di Indonesia sekarang ini, Soekarno pun akan menangis!
“Mengenag” Pancasila
Dalam membentuk Negara merdeka, Soekarno beserta rekan seidiologinya membingkai landasan dasar yang diperuntukkan sebagai patokan dalam mengambil sebuah keputusan. Landasan tersebut tak lain adalah Pancasila. Disamping itu, Undang-undang Dasar 1945 juga menjdi acuan terkait pengambilan keputusan dalam membentuk suatu aturan dalam bernegara.
Namun realitas sekarang ini justru banyak yang membelot dari kedua komponen di atas. Walaupun secara formal (konstitusi) memang tidak ada permasalahan, namun secara moral bisa dikatakan sangat mengalami kecacatan (red: perkembangan hukum). Padahal, Jimly as-Shidqy telah memaparkan secara tegas bahwa, antara hukum dengan moral haruslah saling bersandingan. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan perbendaharaan hukum adil.
Selain cacatnya moral dalam dunia hukum, Indonesia juga cacat dalam konteks nilai yang terkandung dalam Pancasila. Mari kita kiliti. Pertama, dalam Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, masyarakat Indonesia diharapkan untuk saling beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Dan hal ini mendapat perlindungan khusus yang tercantum dalam Undang-undang 28E Ayat 1 yang menyebutkan, ““Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…”. Namun realita yang terjadi, kehidupan beragama di Indonesia justru menampakkan wajah saling tikam (red: kerusuhan Tolikara, dsb).
Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan Sila yang mengharuskan warga negara Indonesia untuk bisa saling hidup rukun. Namun realitas berkehendak tidak demikian. Penulis menilai bahwa,lahirnya kerukunan akan bisa terwujud apabila Sila Pertama, yang antar pemeluk agama bisa saling menghargai satu sama lain. Namun jika hal tersebut tidak terlaksana, manka kemanusiaan yang adil dan beradab pun tak akan mampu terwujud sampai kapanpun.
Ketiga, adalah Sila yang benar-benar sangat penting bagi keutuhan berbangsa-dan bernegara. Persatuan Indonesia. Dalam sila ini, seluruh elemen masyarakat indonesia diwajibkan untuk memiliki sifat Nasionalisme. Sebab, dengan adanya sifat nasionalisme tersebut, kehidupan berbangsa-dan bernegara dalam konteks Indonesia akan senantiasa aman. Namun lagi-lagi realita tak berbanding lurus dengan idealita. Ya, hal ini diakibatkan oleh terpuruknya nasionalisme yang terkadung dalam jiwa manusia Indonesia (red: Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM)).
Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh khikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sila ke-empat ini sudah kandas, dan bahkan sudah tak berfungsi lagi dalam rangka merembuk tatanan suatu negara. Pasalnya, sistem baru yang terpakai sekarang ini tak lagi menerapkan musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun, sistem yang diadopsi dari barat, satu orang satu suara, atau bahasa lainnya adalah voting telah menutup mata hati masyarakat Indonesia yang selebihnya menyengsarakan dalam dunia many politik yang sangat naif.
Kelima, keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, adalah rangkuman atau kesimpulan yang apabila sila 1, 2, 3 dan 4 telah terwujud. Namun apabila multi rangkai dari ke empat Sila tersebut sudah cacat dari yang pertama, maka jangan berharap indonesia akan Adil secara sosial. Dan jika Soekarno mengetahui hal ini terjadi, maka dengan sangat sedih beliau akau menangis!
Dengan demikian, jika kita telah mengetaui kebobrokan sila, yang akibat hanya dijadikan bahan warisan atau kenangan saja, maka sudah seharusnya kita meneguhkan tekat untuk mendirikan kembali khittah dan ghirah warisan leluhur tersebut. Dan diharapkan juga untuk bisa saling menyandingkan hukum dengan moral, yang eksistensinya telah punah di peredaran dunia Indonesia.
Jangan sampai, di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke-70 ini hanya sekadar menjadi hari peringatan. Namun, 17 Agustus 2015, adalah momentum untuk merivitalisasi negara Indonesia supaya menjadi negara paripurna. Dan jangan sampai membuat Soekarno menangis di hari berikutnya!
http://issuu.com/koranpagiwawasan/docs/wawasan_20150819