SETIAP anak memiliki hak sama untuk mendapatkan
layanan pendidikan yang berkualitas sesuai tuntutan zaman. Sedangkan
perkembangan zaman yang sulit dibendung, sedikit banyak telah menyisakan
pilu dalam proses belajar-mengajar di sektor pendidikan. Katakanlah
kasus bullying, pelecehan, tawuran, dan lainnya, yang semuanya
menjadi kekhawatiran orang tua terhadap dunia pendidikan sekarang.
Akhirnya, pendidikan alternatiflah yang menjadi pilihan.
Ya, homeschooling,
sebuah layanan pendidikan alternatif, untuk menampung kebutuhan dan
kehendak murid beserta walinya. Bagaimana tidak, kriminalitas yang
membudaya di sekolah, membuat anak didik merasa ketakutan. Ia mengalami school phobia.
Tentu problem itu bertolak belakang dengan apa yang selama ini
diungkapkan oleh Mendikbud Anies Baswedan, bahwa pendidikan seharusnya
menjadi sesuatu yang membahagiakan, bukan menjadi suatu beban.
|
Oleh: Mahfudh Fauzi |
Oleh karena itu, homeschooling hadir dengan penawaran konsep pendidikan yang berbeda. Adilistiono (2010) mendefinisikan homeschooling
sebagai pendidikan yang disenggarakan di rumah sebagai sekolah
alternatif, yang menghendaki anak sebagai subjek dengan pendekatan
secara at home. Homeschooling sesuai dengan UU No.30 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, jelas menyatakan bahwa sistem
pembelajaran ini dapat menjadi alternatif pilihan masyarakat.
Tidak tanpa alasan, dengan homeschooling,
tumbuh kembang anak dalam proses pembelajaran juga dapat terkontrol
dengan baik. Sejak awal, potensi anak juga dapat tergali untuk kemudian
dioptimalkan dengan baik. Ataupun dengan kehendak orang tua, potensi
anak dapat direkayasa dengan pembelaran intens dan penanaman paradigma
yang tepat. Proses belajar di rumah juga dapat menjaga kesehatan jasmani
dan rohani anak, karena kehidupan luar semakin “tercemar”.
Homeschooling
bukan berarti menjadi sistem mutakhir yang mampu menjawab problematika
pendidikan nasional. Tentu ada kelebihan dan kekurangan dibandingkan
dengan sistem pembelajaran di sekolah. Semua tergantug kebutuhan,
situasi, dan kondisi anak beserta orang tua. Terpenting, pendidikan
nasional harus dimaksimalkan, agar bangsa Indonesia berperadaban berkat
sektor pendidikan. Bukan tidak mungkin, ketika pendidikan homeschooling
dan pendidikan sekolah melahirkan generasi emas yang loyal terhadap
negara.
Penawaran logis
Penawaran sistem pendidikan homeschooling memang cukup logis. Walaupun bernama homeschooling,
bukan berarti prores belajar dilakukan di rumah secara terus-menerus.
Dalam proses pendidikan ini, waktu dan tempat pembelajaran dilakukan
secara fleksibel. Belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja
sesuai kondisi, asalkan nyaman dan membahagiakan layaknya di rumah.
Bahkan ada juga homeschooling majemuk (dua keluarga atau lebih) dan
komunitas (banyak).
Jadi, dalam proses pebelajaran homeschooling, anak adalah
subjek kurikulum bukan objek kurikulum. Sebab, walaupun dengan pantauan
orang tua, anak dibebaskan untuk memilih mata pelajaran yang disuka.
Sehingga, sistem homeschooling hadir dengan penawaran logis
karena; model pendidikan yang fleksibel dan dinamis, steril dari
kegaduhan kehidupan sosial, pelayanan yang profesional, dan lainnya.
Tentu tidak lupa, bahwa orang tua, terutama ibu menjadi madrasatul ula (sekolah pertama bagi anak), jadi dengan sistem homescooling,
maka sekolah tersebut akan terus berlanjut tanpa mengurangi
keharmonisan rumah tangga. Sehingga, basis agama, basis nilai kearifan
lokal, basis nilai keluhuran, dan basis karakter dapat ditanamkan sejak
anak lahir hingga menginjak usia dewasa. “Penyemaian” basis-basis itu
akan semakin mudah, karena anak selalu dalam pengawasan.
Penawaran
selanjutnya, yaitu terkait pelayanan pendidikan yang nyaman terutama
bagi anak yang sakit dan cacat, kemudian dapat memberikan ketrampilan
khusus, dan dapat memberikan pembelajaran tematik dan kontekstual secara
intens dan mendalam. Dengan demikian, ruang gerak anak dalam menempa
potensi diri semakin luas. Sehingga, besar kemungkian kualitas anak
semakin tak terbatas karena didikan yang ekstra.
Sayangnya,
homeschoolng belum mampu mengakomodasi kebutuhan interaksi bebas seperti
apa yang tersedia di sekolah. Dengan sistem belajar at home,
kepekaan sosial, kecerdasan emosional, penerimaan kenyataan betapa
pahitnya kehidupan, pembelajaran memfilter antara yang baik dan yang
buruk sesuai kondisi, semua sulit tercapai karena sekolah lebih
menyediakan hal itu.
Kebutuhan mendesak
Baru
beberapa hari yang lalu, hari pendidikan telah dirayakan. Sayangnya,
perayaan itu hanya berlalu seperti tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya,
sebuah perayaan megandung unsur kepuasan atas prestasi yang diraih.
Namun, jika menilik dunia pendidikan kita sekarang, apakah hari tersebut
layak dirayakan. Dengan berbagai problem klasik baik pendanaan,
kurikulum, kualitas guru, kenakalan murid, dan lainnya, apakah itu dapat
dikatakan sebagai prestasi?
Memang tidak akan selesai jika hanya
saling menghujat. Perbaikan sektor pendidikan merupakan suatu kebutuhan
mendesak. Baik sekolah maupun homeschooling, harus berkomitmen untuk mengutamakan output. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ketika sekolah dan homeschooling
berkualitas, maka dipastikan Indonesia akan panen generasi emas.
Kriteria berkualitas, dapat dilihat mulai dari hal terkecil, yakni
kebersihan, kedisiplinan, hingga sistem pembelajarannya.
Gambaran sederhana yang dapat dilihat yaitu bagaimana budaya terbangun. Di homeschooling
misalnya, luasnya akses pendidikan yang tanpa diimbangi dengan
pengawasan secara intensif, akan berakibat fatal terhadap anak didik.
Artinya, syarat utama untuk mengupayakan lahirnya generasi unggulan,
dibutuhkan sistem yang unggul pula. Dengan homeschooling dan sekolah yang berbudaya, maka menarik perhatian orang tua untuk menitipkan anaknya.
- Tayang di Serambi Indonesia http://aceh.tribunnews.com/2015/06/06/homeschooling-dan-pendidikan-alternatif?page=3