Siapa tak kenal slogan berbunyi “enak zamanku, tho?”. Kata-kata yang ditujukan untuk mengenang romantisme kepemimpin era Presiden Soeharto tersebut merupakan suatu hal yang sangat fenomenal dan bahkan bisa diprediksi hampir setiap masyarakat Indonesia mengetahuinya. Sebab, tidak hanya dipajang di pamflet, poster, baliho, kaos saja, model stiker kecil yang sengaja dicetak untuk dipasang “disembarang”, bahkan media sosial pun juga tak ikut menyebarkannya dengan pelbagai liputan.
|
Ahmad Anwar Musyafa' Mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Walisongo Semarang |
Dapat dibetulkan; dinamisnya suasana politik yang diprakarsai oleh mantan jendrat angkatan darat, Soeharto, memberikan cambukan keras atas kinerja peemerintahan saat ini yang cenderung mengalami kebobrokan yang dahsyat akibat rusuhnya dunia perpolitikan. Konsekuensi logis yang harus dialami adalah adanya sendi-sendi ekonomi, sosial, dan local wisdom yang mengalami kepunahan, dan hilang entah kemana.
Dinamika yang demikian itu, menurut hemat penulis merupakan suatu cerminan sifat yang tertanamkan seperti halnya paham Machiavellian. Paham yang menghalalkan segala cara dalam berpolitik, yang implikasinyaberimbas pada suatu kerusakan tatanan nilai, norma, moral dan etika. Oleh sebab itu, paham tersebut dinilai sangat “berbahaya” jikalau sampai mewabah kedalam para politisi negeri ini.
“Membenarkan” Jargon
Tidak disebut “jendral” politik kalau tak bisa “membungkam’ seluruh jajaran pemerintahan, itulah sosok Soeharto. Kecerdikan berpolitiknya telah menunjukkan ranking yang gemilang. Terbukti, Indonesia dapat dikuasai selama 32 tahun, walaupun dengan keaan yang amat “mepet”. Namun, dengan kecerdikannya untuk mengentas keanjlokan namanya, meski dengan tragedi teror, “menghalalkan” segala cara, Soeharto berhasil mendapat sandang bapak pembangunan.
Kepiawiannya memainkan suasana politik menjadi tolok ukur utama dalam rangka mengguluti sistem politik dalam negeri. Bahkan, saat sudah nyata “raja jawa” ini berbuat Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), elemen pemerintahan tak ada yang bearani mencegahnya, apalagi melarang dan menghakimi. Oleh sebab itu, K.H. Abdurrahman Wahid atau terkenal dengan sapaan Gus Dur, presiden ketiga Indonesia mengibaratkan seperti pepatah, bahwa “apa yang dilakukan tangan kanan, tangan kiri tidak boleh tahu”.
Suasana politik yang anyem, akibat sikap otoriter dari sang Presiden, satu komando untuk menyuarakan dan mengikuti aksi yang telah diintruksikannya, mengakibatkan rakyat “damai dan sejahtera”. Dalam versi ini adalah, Korupsi hanya kendalikan oleh satu orang, dan bukan untuk para politisi. Namun, dari hasil korupsi yang terbilang aman tersebut, mengakibatkan kehidupan politisi juga terjamin, asal mengikuti dan patuh terhadap intruksi yang diberikan sang Jendral.
Kehidupan “rakyat” yang dinamis merupakan tanda bahwa, Soeharto memang pandai dalam berstrategi. Namun jika dikontekskan dalam periode saat ini, khususnya pemerintahan yang dinahkodahi oleh sang Presiden Jokowidodo (Jokowi), mengisyaratkan bahwa, paham yang dilakukan oleh Soeharto tersebut ternyata telah dikuasai oleh banyak politisi. Sehingga tak heran jika Komisi Pemberantasan Korupsi selama ini telah “menyikat” para mafia pemerintahan.
Warisan yang tak terpuji tersebut berimplikasi terhadap carut-marutnya sebuah sistem perpolitikan, bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara juga ikut terancam. Pasalnya, sifat individualitas yang tertanam dalam jiwa politisi, khususnya para birokrat membuat adanya unsur ketidak puasan dalam berkehidupan. Ambil contoh, layaknya seorang pejabat negara, jika telah diberi amanat oleh rakyat untuk sebenar-benarnya membuat sistem yang betujuan untuk melahirkan kesejahteraan bagi semua, tentunya hal tersebut menjadi agenda prioritas utama dalam berprinsip. Namun jika paham individualitas telah mewabah, maka prinsip yang seharusnya dilaksanakan menjadi belok kearah yang cenderung sangat negatif. Yakni, membawa kepentingan rakyat demi kepintingan golongan. Dan ironisnya, jika Agama pun juga menjadi bahan lelang demi sebuah nilai materi. Na’udzu billah
Revolusi Jargon
Jika diamati, jargon “enak jamanku, toh?” menandakan satu pertanda bahwa, jaman sekarang tak mengalami lecutan degradasi dibandingkan kala Soeharto memimpin. Disamping itu, indikasi yang menunjukkan bahwa Soeharto telah “menang” dibandingkan Jokowi dalam konteks berbagai bidang. Mulai dari sosial, politik dan ekonomi, yang walaupun pada masa terakhir prestasi tersebut ambruk.
Kemudian dari-pada itu, jargon “enak jamanku” juga cenderung menandakan sindiran pahit terhadap kepemimpinan pada saat ini. Oleh sebab itu, dengan pelbagai konsekuensi logis yang harus dilakukan adalah merubah secara total redaksi yang tersebut dalam jargon fonomenal itu. Yakni, “enak jamanku” yang hanya menunjukkan kehebatan salah satu justru kian mengakibatkan rakyat terasingkan dan terlena. Maka, redaksi yang cocok untuk mengubahnya adalah dengan menyusupkan kata “enak nasibmu, toh?”.
Kata tersebut dimaksudkan untuk menjadikan lecutan keras bagi para pemimpin agar giat bekerja semata demi kemakmuran rakyat. Selain itu, redaksi tersebut juga menandakan sapaan kepada rakyat untuk menjawab. Logikanya, jika ditanya “enak nasibmu, toh?” maka rakyat harus menjawab antara ya dan tidak.
Jika kinerja pemerintah tidakbisa membuat rakyat puas, maka sudah tentu jawabannya adlah tidak.begitupun sebaliknya. Namun, beda dengan “enak jamanku toh?”. Walaupun memang mengharuskan jawab antara ya dan tidak, akan tetapi indikasi sindiran dan klaim kehebatan telah menyatu dalam dimensi kepmimpinan yang hal tersebut sangat tidak diperbolekan.
Dengan demikian, revolusi jargon”enak jamanku, toh?” perlu dilakukan. Sisipan redaksi “enak nasibmu, toh?” (Antara “ku” dan “mu” tentunya sangat bermakna signifikan dan relatif sopan). Atu bisa dimaknai untuk mengindikasikan bahwa tugas para pemimpin itu tak ringan. Bahwa memang benar, tugas pemimpin harus seolah untuk rakyat dan demi rakyat. Jadi, jangan pernah anggap remeh, memegang pangku kekuasaan itu semudah “mengelola warung”. Harus ada i’tikan dan ghirah yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat! Wallahu a’lam bi al-Shawab