|
Oleh: Roymansyah
Presiden ASNER (Asosiasi Interpreneur) Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
|
Olok-olokan ataupun
hujatan yang sering dilontarkan kepada Rosululloh ialah ‘’majnun’’ yang
artinya, gila. Pada masa itu, kaum Nabi
Muhamad, khususnya orang orang yang menentang kerasulan beliau, meraka gemar
sekali mengeluarkan kata kata yang sedemikian rupa hinanya. Namun, tidaklah
pupus di tengah jalan apa yang diinginkan beliau. Dengan hati yang bersih dan
bibir yang selalu tersenyum, beliau dapat meluluhkan hati para kaumnya yang
sangat keras.
Disini penulis akan
mencoba untuk menjawabnya. Jika memang menghujat itu sudah sedari dulu
dilakukan, itu artinya, memang menghujat sudah menjadi tradisi masyarakat.
masyarakat memang selau merasa gatal apabila melihat pemimpinnya tidak memperlihatkan hasil kerjanya (hasil kerja
yang baik). Terlebih lagi, mereka yang dari awal memang sudah tidak suka dengan
para pemimpinnya. Sudah dapat dipastikan, meraka akan menyemprotkan kata-kata
yang mempengangkan telinga.
Tentu tidak hanya itu
saja yang akan dilakukan oleh para oknum-oknom yang memang dari awal tidak
mendukung atas kepemimpinannya (Jokowi). Sedikit banyak meraka juga akan
mengeluarkan opini-opini yang miring dan belum tentu pasti kebenarannya. Tindakan seperti ini
justru banyak dilakukan oleh kaum intelektual, Lagi-lagi mereka adalah dari
kalangan masyarakat yang dari awal tidak mendukung kedudukan pemimpinnya
(Jokowi).
Huj(at)an-Kritik
Dan sampai saat ini, penghujatan
yang dilontarkan oleh masyarakat kepada pemimpinnya memang sudah tidak asing
lagi. Bahkan bisa dikatakan segai hal yag sangat wajar. Pasalnya, dalam sistem demokrasi
ternaung kebebasan mengemukakan pendapat. Jadi, dalam konteks ini siapa pun
boleh melontarkan ide, gagasan dan suaranya kepada para penguasa. Asalkan tidak
menyalahi Undang-undang yang berlaku.
Kritik merupakan
keniscayaan. Sebab oleh adanya kritiklah seseorang bisa sadar dan mengerti
letak kesalahannya. Bahkan kritikan sebagaimana yang terjadi dalam sistem
demokrasi di Indonesia, kritik merupakan tindakan yang wajib guna menghasilkan
solusi yang konkrit. Solusi tersebut tak harus keluar dari seorang yang
mengkritik. Namun, secara sadar atau tidak, kritikan sudah merupakan solusi
konkrit: jika seorang dikritik, maka orangtersebut melakukan kesalahan. Dan
kesalahan tesebut harus dibenahi dengantidak melakukan tidakan yang sama untuk
mengulangi kelahan yang sama.
Dalam konteks demokrasi,
kita perlu membedakan antara kritik dengan menghina. Kalau Dunia Barat, kritik
adalah anjuran yang tak ada konsekuensi hukum mengikat. Namun, beda lagi dengan
menghina. Dunia Barat mengkategorikan Menghina adalah tindakan yang melanggar
hukum.
Oleh sebab itu, hujatan
yang dimaksudkan guna menyampaikan kritik terhadap pihak birokrasi adalah
perbuatan yang harus diapresiasi. Sebab, terlanjur marahnya masyarakat terhadap
melenjeng jauhnya kebijakan pemerintah menjidikan rakyat kian mengalami
kelunturan kepercayaan.
Kritik
Adalah Solusi
Kebanyakan dari semua
masyarakat, baik dari kaum intelektual maupun masyarakat awam, mereka
menginginkan kemajuan yang cukup pesat. Namun, mereka tidak menyadari bahwa masalah yang ada di Negri
ini terlalu banyak dan sangat keruh. Sehingga para pemimpin pun tidak bisa
menyelesaikannya dalam waktu yang singkat.
Mungkin, kita dapat
mengambil contoh contoh permasalahan yang ada di dalam negri ini. Salah satunya
adalah masalah-masalah yang sudah membatu atau menjamur. Sebut saja
hutang-hutang warisan. dari jaman Suharto, sampai detik ini belum juga
terselesaikan. Padahal, permasalahan seperti ini sangat membebani Negara. Ini
membuktikan, bahwa menyelesaikan masalah-masalah negara itu tidak mudah. Namun,
ada beberapa dari sebagian pemerintah jaman sekarang yang mungkin dapat kita
katakan kurang baik dalam menjalankan tugasnya. Dan bahkan banyak dari mereka
yang menyalah gunakan kekuasaannya. Semua ini nampak jelas ketika ada beberapa
pemerintah ataupun petinggi Negara ini yang terserok oleh KPK.
Tetapi, masalah-masalah
seperti ini hendaknya tidak dijadikan bahan opini untuk mengolokolok dan bahkan
mencurigai semua petinggi negri ini. Mengingat tidak semua petinggi yang ada di
dalam negri ini berbuat sedemikian rupa. Bahkan karena opini-opini yang belum
jelas kebenarannya tersebut, masyarakat awam,
banyak yang beranggapan bahwa semua hal yang berbau politik itu, kotar.
Sehingga, banyak dari mereka yang membenci politik. Padahal, politik bukanlah
hal yang kotor.
Namun, politik itu
tergantung kepada para pemegangnya. Mungkin, politik dapat kita analogikan
dengan ‘’pisau dapur’’ jika pisau itu digunakan untuk membantu menyelesaikan
pekerjaan di dapur, maka akan baik manfaatnya. Namun, jika pisau tersebut
digunakan untuk untuk kejahatan misalnya: merampok, membegal dan lain
sebagainya, maka akan buruk pula hasilnya. Begutu pula dengan politik. Bahkan,
jika politik negri ini dikuasai oleh orang-orang yang bertanggung jawab, maka, politik
dapat menyelamatkan Negri ini dari para petinggi yang suka mentingkan diri
sendiri dan kelompoknya.
Masihkah perlu
mencemo’oh dan menghujat para pemimpin negri ini khususnya Jokowi? Memang,
opini-opini tersebut terkadang dilontarkan untuk keperluan politik saja.
Kebanyakan dari mereka menginginkan supaya masyarakat berfikiran negatif dan
membenci pemimpinnya. Namun, lagi lagi semuanya tidaklah dapat dinilai dengan
satu sudut pandang saja. Bahkan banyak yang beranggapan bahwa opini-opini yang
sedemikian rupa, perlu adanya. Karna dengan opini opini yang sedemikian rupa,
akan memenumbuhkan semangat berpolitik banyak masyarakat.
Jika, akan
mengngeluarkan pendapat pendapat atau opini, maka, pandai-pandilah dalam memilih kata untuk membangun sebuah
kalimat dan beropinilah dengan tendensi-tendensi yang jelas dan benar akan
kebenarannya. Sehingga, dapat memberikan pencerahan kepada masayarakat. Dan setidaknya tidak
menyesatkan.
Namun, jika dengan kata
yang halus pemerintah tidak mendengarkan, atau mungkin justru orang yang
mengeluarkan kritik dijadikan sebagai “bahan tinju” polisi (red: demo), maka
kata kasar pun nampaknya menjadi pilihan terakhir yang harus kita ambil. Sebab
dalam konteks ini kritik merupakan sebuah solusi. Bukan anarki. Semoga nahkoda
birokrasi segera sadar akan pentingnya kritikan! Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Tayang di Harian Rakyat Jateng