Konflik Palestina–Israel telah terjadi sejak tahun 1967 M. Dalam dimensi penjajahan, sebelum menyerang Negara Palestina, Israel telebih dahulu menyerang Mesir, Yordania, Syiria, dan akhirnya berhasil membombardir jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syiria), dan Yarussalem (Yordania). Latar belakang terjadinya konflik ini disebabkan oleh adanya sakralisasi sebuah wilayah, Gaza yang dulu merupakan milik nenek moyang mereka. Oleh sebab anggapan inilah kaum Yahudi dengan serta-merta dan semena-mena membombardir bangsa palestina yang pada hakikatnya secara legal telah menjadi pemilik resmi wilayah tersebut.
|
Ahmad Anwar Musyafa’
Alumnus Madrasah Aliyah Negeri Lasem (MANELA)
|
Dasar dari keberanian bangsa Yahudi untuk merebut kembali wilayah nenek moyang disebabkan oleh adanya dalih yang menyatakan bahwa, semua kaum, terkecuali kaum yahudi adalah seokor hewan. Dan ditegaskan pula bahwa, hewan yang dimaksudkan boleh dibunuh sewaktu-waktu tat-kala “hewan” tersebut menghalangi jalan kehidupannya. Latar belakang lain disebabkan oleh adanya paradigma yang mempercayai bahwa, daerah Gaza yang terletak di Palestina awal mulanya adalah milik kaum Bani Israil (keturunan Yahudi). perebutan wilayah Gaza yang terletak di Negara Palestina tak disebabkan oleh luas, lebar ataupun panjang tanah. Mereka menilai bahwa tempat yang diperebutkan dinggap merupakan tempat yang “sakral”.
Pada tahun 1100-1200 Masehi ketika Nabi Musa A.s. memimpin bangsa Israel meninggalkan Mesir, mengembara di gurun Sinai menuju tanah yang dijanjikan (palestina), asalkan mereka taat kepada Allah Swt. Demi mewujudkan cita-cita tersebut Nabi Musa A.s. membelah laut ketika bersama dengan bangsa Israel dikejar-kejar oleh tentara Mesir menyeberangi Laut Merah (baca; Nabi Musa).
Namun ketika para kaum Bani Israil diperintah memasuki tanah Filistin (Palestina), mereka membandel. Dalam al-Qur’an sebutkan; “Hai, Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi ada orang yang gagah perkasa di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu (Tuhanmu), dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (QS 5:24).
Dalam konteks ayat tersebut telah jelas bahwa, para Yahudi Bani Israil diibaratkan al-Qur’an sebagai seseorang yang gagah perkasa. Tak hanya ayat ini saja yang mengibaratkan Bani Israil sebagai kaum yang dapat jaminan sekaligus mendapat kenikmatan yang unggul dari pada umat-umat lain. Dalam al-Quran dijelaskan; “Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-nikmatku yang telah ku berikan kepadamu, dan aku telah melebihkan kamu dari semua umat yang ada di alam ini.” (QS 2:47).
Dari latar belakang sejarah dan kepercayaan diri tinggi mengakibatkan Bani Israil bergeliatan. Alhasil, dendam masa lalu kembali muncul dan secara ambisius Yahudi Israil ingin segera merebut tanah nenek moyang mereka dengan cara perang.
Sudah Merdeka?
Suatu organisasi atau masyarakat politik dapat dikatakan sebagai negara apabila memenuhi unsur–unsur pokok yang harus ada dalam negara. Adapun unsur–unsur yang harus ada dalam negara menurut Oppenheim Lauterpacht adalah: adanya rakyat, daerah, dan Pemerintah yang berdaulat. Ketiga unsur itu disebut sebagai unsur Konstitutif atau pembentuk. Disamping ketiga unsur pokok tersebut masih ada unsur tambahan (disebut unsur deklaratif) yaitu berupa Pengakuan dari negara lain.
Dalam konteks palestina, jika dianalisais menggunakan pengertian di atas, pada hakikatnya, secara legal telah menjadi sebuah negara yang merdeka. Pasalnya, palestina yang dewasa ini menjadi bahan amukan bangsa yahudi telah sepenuhnya memenuhi syarat seperti yang dipaparkan Oppenheim Lauterpacht. Yakni, memiliki rakyat, daerah, pemerintah yang berdaulat dan telah diakui oleh bangsa lain.
Pada tahun 1979, melalui Perjanjian Camp David, Mesir mengisyaratkan sebuah akhir pada pengakuannya sendiri atas Jalur Gaza. Deklarasi kemerdekaan dan pembentukan negara Palestina telah terjadi pada bulan November 1988 oleh PLO. Pada bulan berikutnya, segera diakui oleh banyak negara, termasuk Mesir, Yordania, dan Indonesia.
Walaupun demikian, sampai saat ini Israel yang melakukan pembombardiran atas Palestina secara habis-habisan tidak sedikitpun mendapat respon dari dewan keamanan PBB. Padahal jelas, di Gaza, yang terlihat dalam media telivisi, cetak maupun nyata sebagian besar menggambarkan penderitaan. Manusia Yahudi yang Zionisnya menunjukkan nafsu binatang dan tidak nampak sedikitpun menunjukkan hati nuraninya sebagai manusia, dengan seenaknya menindas rakyat Palestina. Dan jelas pula, pada hakikatnya Palestina merupakan negara merdeka.
Hutang Indonesia
Kemerdekaan Palestina yang selama ini terbelenggu oleh adanya kebringasan Zionis, Israel merupakan tanggung jawab umat Islam dunia, tak terkecuali Indonesia yangpada hakikatnya merupakan negara yang mayoritas berpenduduk kaum Islam terbesar se-Asia. Terlebih tanggung jawab sebagai sahabat muslim, Indonesia juga mempunyai utang kemerdekaan sebagai kawan bangsa yang tergabung dalam kombinasi negara Asia dan Afrika, yang hal ini telah jelas dikatakan oleh sang proklamator, Ir. Soekarno dan kemudian ditegaskan lagi oleh Presiden Joko Widodo (red: pembukaan KAA).
"Utang kemerdekaan Palestina menjadi salah satu agenda prioritas presiden Jokowi, yang memang menginginkan negara palestina benar-benar merdeka dari jeratan negara lain. Hal ini merupakan langkah yang tepat mengingat Palestina telah menjadi negara yang secara legal formal telah mendapat pengakuan dari negara lain, seperti mesir dan Indonesa yang mengakui berdirinya Paestina sebagai negara yang merdeka."
Selain itu, argument presiden Jokowi terkait kemerdekaan negara Palestina juga patut kita apresiasi dan kita dukung bersama. Pasalanya, Undang-Undang 1945 telah jelas menyebutkan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan”. Oleh sebab itu, langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh presiden Jokowi terhadap kemerdekaan palestina adalah segera melakukan konsolidasi antar negara Asia-Afrika yang pada hakikatnya merupakan satuan negara yang dibingkai agar menguatkan satu sama lain.
Dengan demikian, nasib sekawan dan sepenanggungan akan dapat teratasi jikalau semua elemen negara, khususnya Asia-Afrika dapat bersatu padu dan solid untuk menegakkan kebenaran dan memusnahkan segala bentuk keholiman. Walahu a’lam bi al-shawab.