|
Ahmad Anwar Musyafa’
Mahasiswa
UIN Walisongo Semarang
|
Hukuman merupakan konsekwensi logis yang “wajib” diterima bagi seseorang yang telah berani melanggar aturan-aturan hukum (Red; perbuatan melawan hukum). Tak pandang dari golongan elit politik, priyai, buruh dan lain sebagainya. Jika tindak-tanduk manusia dalam berkehidupan diangap telah menyeleweng dan berimplikasi meresahkan masyarakat, maka disaat itupun hukum harus ditegakkan.
Perlu diketahui bersama, hakikat diterapkannya hukum tak lain adalah sebagai alat untuk memaksa agar peraturan ditaati. Jiak ada yang melanggar maka akan diberi sanksi (hukuman). Sehingga hukum berkesimpulan untuk mewujudkan rasa kesejahteraan dan keamanan bagi masyarkat. Oleh sebab itu, status penegakan hukum harus laksanakan oleh seseorang yang cakap hukum, dalam konteks ini adalah seorang Hakim, agar nantinya eksistensi hukum bisa berjalan seimbang.
Dalam konteks hukum, Hakim merupakan wakil Tuhan yang berkuwajiban menegakkan hukum secara adil; dia tidak boleh menjatuhkan vonis sesuai kemauannya pribadi. Dalam hadist disebutkan;“idraul hudud bi as-subuhat” yang memberikan pesan jikaseorang hakim ragu-ragu tentang kesalahan seorang terdakwa,maka ia tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, sebab ditakutkansi hakim berbuat kesalahan.” Jadi, aspek-aspek keadilanharus bersifat menyeluruh, meliputi prinsip, prosedurdan pelaksanaannya. Oleh sebab itu, dalam konteks bernegara, khususnya di Indonesia, seorang Hakim harus taat dan patuh terhadap konstitusi yang berlaku.
Dewasa ini, kita dapatmengambil contoh kebijakan hukuman mati yang ditetapkan oleh Jaksa Agung HM Prasetyo akibat terjerat kasus Narkoba. Keputusan hakim Jaksa Agung yang memvonis enam terpidana narkoba, merut penulis sudah sangat tepat. Sebab hakim dengan sadar telah berani “menutup mata” dan “mengayunkan pedangnya” kapada siapapun pihak yang bersalah (Red; simbol hukum). Tidak pandang agama, suku, ras, dan warga negara. Sebab, jika selama seseorang berada di lingkup kawasan bumi pertiwi, maka hukum yang telah diterapkan dinegeri pertiwi pun juga harus ditegakkan.
Hakim jaksa menilai bahwa, dalam ketentuan hukum positiv yang berlaku di indonesia,yakni dalam UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, hukuman untuk pengkonsumsi, produsen, pengedar, maupun segala penyalahgunaan narkotika diancam dengan hukuman yang berat. Salah satunya dalam Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, yang berbunyi: “Jika tindak pidana dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun (dua puluh) tahun dan dikenakan pidana denda sebesar Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”
Adapun Keenam terpidana mati tersebut adalah, Namaona Denis (48), warga Negara Malawi; Marco Archer Cardoso Mareira (53), warga Negara Brazil; Daniel Enemua (38), warga Negara Nigeria; Ang Kim Soei (62) belum diketahui kewarganegaraannya; Tran Thi Bich Hanh (37), warga Negara Vietnam dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia, warga Negara Indonesia.
Melanggar HAM?
Bentuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan atau melukai jasmai atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok ( Leah Levin, 1987: 45). Jika ditinjau dari sudut pandang UU pasal 3, yang menyebutkan; ”Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi”, maka hukuman mati jelas melanggar hak asasi manusia (HAM). Sebab dalam prespektif Undang-undang ini, orang yang dijatuhi hukuman mati dianggap telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya dan keamanan pribadinya.
Selain itu, hukuman mati juga dianggap sebagai hukuman yang sangat melanggar hak untuk hidup bagi manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan.Sebab, yang berhak memberikan hidup dan mati adalah tuhan. Sedangkan manusia hanya sekadar menjalankan (Red; Faham Jabariyah). Dari pandangan inilah muncul sebuah anggapan yang menyatakan bahwa, jika manusia dibunuh sesuai dengan kesepakan manusia, maka takdir Tuhan telah dilanggar secara besama-sama.
Jika ditinjau menurut Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil politik yaitu Pasal 6 ayat (1), yang menyebutkan bahwa;Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM bahwa pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar pasal 6 ayat (1), eksekusi mati pada dasarnya menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya hak hidup dari seseorang, dan ini yang bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 3 DUHAM. Maka kesimpulan yang sama akan menyebutkan bahwa, hukuman mati merupakan perbuatan manusia yang secara sadar telang “mengebiri” HAM seseorang.
Namun, hal tersebut dapat ditepis melalui pasal 28 G UUD 1945. Jelas tertera bahwa, manusia berhak untuk mendapatkan perlindungan. Contohnya perlindungan dari kejahatan narkoba dan terorisme. Dalam kasus seperti ini asas kepentingan umum sangat harus ditegakan menyampingkan kepentingan khusus atau pribadi.
Logikanya, bila seribu Orang terancam nyawanya hanya sebab pengedar narkoba dan teroris yang melakukan tindak kejahatan demi kepentingan pribadi atau kelompoknya, maka asas kepentingan pribadi-kelompok akan ditinggalkan dan dibrlakukan asa kepentingan umum.
Adapun cara yang gunakan adalah, menumpas para pengedar eksistensi pengedar narkoba dan para teroris yang mengunggulkan kepentingan pribadi-kelompoknyadari pada kepentingan masyarakat banyak. Oleh sebab itu, hukuman mati merupakan wujud dari keadilan yang diterapkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Kalau dalam bahasa yang dipakai oleh Syahrur adalah batas minimal dan batas maksimal, yang dikenal denga teori limit.
Dalam pandangan Syahrur, menurut penulis, jika seseorang yang melanggar ketentuan hukum telah melebihi koridor yang ditetapkan sesuai hukum yang berlaku dalam negara, maka konsekensinya adalah menerima hukuman dengan batas maksimal yang telah ditetapkan oleh negara. Namun, jika pelanggar hukum belum sampai melebihi batas maksimal sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh negara, maka bisa jadi hukuman yang akan diterima masih dalam kategori hukuman minimal. Wallahu a’lam bi al-Shawab
Tayang di Harian Analisa