Pengingkaran sosok pemimpin dalam realitas kehidupan
masyarakat, dan ambivalensi terhadap penegagakan hukum menjadi sumbu masalah
yang mengakumulasi kekecewaan dan kemarahan rakyat yang cukup dahsyat. Salah
satu faktor yang melatar belakangi sikap tersebut adalah, manisnya janji
pejabat untuk mensejahterakan rakyat namun ralitasnya justru berkhianat. Atau
dengan kata lain, masyarakat dibohongi secara “terang-terangan” dengan pelbagai
janji yang minim realisasi. Dalam konteks ini, rakyat merasa sangat terdholimi.
Dan secara otomati menimbulkan banyak pertikaian antara pihak rakyat dengan
pemerintahan.
Menurut Ilmuan Pakar Politik Islam Universitas Indonesia,
Dr. Mohammad Nasih al-Hafidhz, proses seperti ini telah terjadi percepatan dan
proses eskalasi ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintah. Sehingga, amat
sulit bagi pemerintah untuk membangun kembali citra dan kepercayaan masyarakat.
|
Ahmad Anwar Musyafa’
Mahasantri Monash Institute dan
Aktivis HMI IAIN Walisongo Semarang
|
Jika mengingat pengalaman masa lalu, tepatnya ketika
sosok mantan angkatan bersejata, Susilo Bambang Yudhoyono saat mendeklarasikan diri
sebagai calon Presiden Negara Republik Indonesia (Capres RI), ororasi dengan suara
sangat lantang dan nafsunya yang membara untuk segera melenyapkan kasus korupsi
di negeri ini merupakan modal awal untuk mewujudkan negara bersih yang bisa
dilanjutkan menuju civil society. Namun seperti kebanyakan janji para
dewan. Realitasnya, sampai saat ini janji tersebut hanya sebatas utopia yang
tak pernah tercipta.
Memang, dalam dunia demokrasi, para pemimpin “bebas”
bekampanye dengan gaya apapun. Sebab dalam konteks inilah, rakyat juga
diberikan kebabsan unuk memilah dan memilih pemimpin idaman hati yang merut
logika dan nalurinya telah dianggap baik.
Logika sesat Demokrasi
Demokrasi merupakan wabah penyakit kronis yang dialami
oleh negara Indonesia. pasalnya, dalam kancah ekonomi yang hanya dikuasi para
elit, mengakibatkan demokrasi di negara ini menjadi kacau. Bahkan, demokrasi
yang awal mulanya memiliki makna baik, yaitu mensejahterakan rakyat, kini makna
tersebut telah berganti 360 derajat menjadi lebih buruk dari pada yang selama
ini dibayangkan.
Berdasarkan pengalaman yang lalu, pelbagai survey
menunjukkan bahwa, lebih dari 60% pemimpin menginginkan agar para calon
legislatif memberikan imbalan kepada pemilih untuk memilih. Awal kasus seperti inilah yang mengakibatkan
sistem demokrasi di Indonesia semakin terpuruk. Sebab, pihak pemerintah dan
masyarakat sama-sama sepakat untuk “bekerjasama”.
Dalam
konteks ini, moralitas yang menjadi nilai tersendiri bangsa Indonesia telah
mengalami degradasi yang cukup parah. Bahasa ekstrimnya, sebagian besar moral
bangsa indonesia telah tergadaikan dengan segelintir uang recehan yang hanya
bisa memuaskan diri bebera saat saja. Oleh sebab itu, bapak
demokrasi, Palato mengatakan; masyarakat merupakan hakim yang tidak becus dalam
banyak masalah politik. Masyarakat cenderung memberikan penilaian berdasarkan
kebodohan, dorongan hati, sentimen, dan prasangka. Yang paling buruk adalah
demokrasi seperti itu mendorong munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak becus.
Karena pemimpin memperoleh kepemimpinannya dari masyarakat, pemimpin cenderung
mengikuti tingkat masyarakat demi keamanan kedudukannya.
Dari pelbagai ralita buruk yang terjadi akibat
berjalannya demokrasi di negeri ini, latar belakang paling urgen adalah, minimnya
pengetahuan rakyat terhadap wacana perpolitikan. Selama ini, rakyat hanya
dipertontonkan dengan pelbagai suguhan berita yang hanya cenderung memihak
sebelah. Al-hasil, black campign (kampanye hitam) gencar berlangsung.
Problematika seperti ini mempertandakan bahwa, rakyat
Indonesia memang belum siap dalam rangka menerapkan sistem demokrasi secara “langsung”.
Oleh sebab itu, wacana pengalihan demokrasi langsung menjadi demokrasi
perwakilan harus segera dilaksanakan. Sebab, mengingat rakyat Indonesia yang
selama ini masih sangat minim pengetahuan terhadap urgensi sistim perpolitikan.
Milik Civil Society
Seymour M. Lipset
pernah mengatakan; Transisi demokrasi pada suatu
negara terjadi apabila terjadi pertumbuhan ekonomi dan pertambahan masyarakat
terdidik. la beralasan, dengan masyarakat yang telah sejahtera secara ekonomi
dan semakin tingginya tingkat pendidikan akan semakin terbuka mekanisme
pengambilan keputusan untuk urusan-urusan publik, dan semakin terbukanya
kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan keputusan yang penting,
yang menyangkut kepentingan publik (Lipset: 1963). Argumen yang sama tetapi
dengan perspektif dan metode yang berbeda juga diungkapkan oleh More, Kalau
Lipset lebih bertumpu pada paradigma modernisasi, yang menyetujui lahirnya
masyarakat kapitalis, sedangkan Moore, lebih bertumpu pada perubahan cara
produksi feodolis ke cara produksi kapitalis (Moore: 1996).
Dalam konteks ini, yang
dimaksud dengan adanya pertumbuhan ekonomi dan masyarakat terdidik adalah
terbentuknya suatu sistem pemerintahan dan masyarakat yang beradab (civil
society).
Nur
Cholis Madjid (Cak Nur) menandaskan bahwa, Madinah merupakan contoh negara yang beradab.
Cak Nur beralasan, Madinah adalah sebuah negara yang berpegang teguh pada sebuah
konsep pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban
dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan dan hukum. Karena itu kata Arab
untuk peradaban adalah Madaniyyah, yang memiliki dasar pengertian yang
sama dengan termasuk dari akar rumpun bahasa Indo-Eropa seperti civic, civil,
polis dan politiae. Semua merujuk kepada pola kehidupan teratur
dalam lingkungan masyarakat yang disebut “kota” (city, polis). Maka Civil
Society atau masyarakat Madani dapat diartikan sebagai masyarakat yang utuh
(solid) dimana kemajemukan dan kebersamaan sangat dihormati. Sebagai
konsep kemasyarakatan, semua negara dan bangsa di dunia pada dasarnya berbicara
tentang masyarakat madani sesuai kepentingan masing-masing, namun secara
kontekstual, masing-masing bangsa punya sistem nilai sebagai acuan
filosofisnya. (Madjid, 2001: 52).
Dalam konteks Indonesia, Cak Nur
juga memberikan solusi alternatif tentang porsi civil society. Perspektif
masyarakat Madani di Indonesia menurut Nur Cholis Madjid dapat dirumuskan
secara sederhana, yaitu membangun masyarakat adil, terbuka dan demokratis,
dengan landasan takwa kepada Allah dalam arti semangat Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ditambah legalnya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan
juga pluralisme, adalah merupakan kelanjutan nilai-nilai keadaban (tamadun).
Sebab toleransi dan pluralisme adalah wujud ikatan keadaban (bond of
civility). (Sufyanto, 2001: 120)
Dengan demikian, Indonesia yang dalam realitanya kerap
kali menunjukakkan kisruh dalam dunia pendidikan, politik, dan hukum belum bisa
dikatakan sebagai negara yang beradab. Penyebab paling utama adalah, adanya
penerapan demokrasi ultra liberal yang tetap dipertahankan oleh sisitem
perpolitikan dan kenegaraan negara ini.
Solusi
konkritnya adalah, menyadari bahwa masyarakat Indonesia masih minim pengetahuan
tentang arti dan urgensi politik atau bahasa ekstrimnya adalah negara yang
belum beradab, oleh sebab tersebut maka dirasa sangat perlu untuk merombak
sistem pemerintahan yang awal mulanya dipilih langsung menjadi sistem
perwakilan.
Jika dengan sistem perwakilan indonesia berhasil
mengantar mendapatkan jati dirinya bangsa Indonesia sebagai bangsa dan negara
yang beradap, maka barang tentu itu
merupakan wujud dari reformasi sitem pemeintahan yang sukses dan bakal dikenang
sepanjang sejarah.