|
Ahmad
Anwar Musyafa’
Sekjen Monash
School of Jurnalistic UIN Walisongo Semarang
|
Kronologi kekalahan KPK pada mulanya disebabkan oleh adanya stetmen Taufiqurrachman Ruki. Melalui pendapatnya, ia mengatakan kepada publik bahwa “KPK telah Kalah”. Oleh sebab inilah rakyat dan seluruh elemen yang “cinta” terhadap kebijakan KPK dalam upaya memebarantas korupsi mengalami luapan emosi yang cukup dahsyat.
Ruki yang mengatas namakan sebagai Plt. KPK dianggap terlalu mudah untuk menyatakan bahwa “KPK telah kalah”. Padahal, Jika kita fahami, dalam konteks ini, tindakan yang dilakukan oleh Ruki terbilang terlalu terburu-buru. Sebab ketika Kasus BG yang dirasa/diputus hakim SRtidak terbukti, maka seharusnya upaya hukum seperti peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) perlu untuk dilakukan. Tujuannya, agar KPK tidak dianggap sebagai lembaga yang “ecek-ecek” dan tidak sekadar “mengkriminalisasikan” orang seenak dan semaunya sendiri.
Disamping itu, pernyataan ruki yang mengatas namakan sebagai Plt. KPK juga tidak sebanding lurus dengan para pegawai yang berkecimpung dalam lembaga KPK itu sendiri. Pasalnya, kebijkan ruki tersebut ternyata juga ditentang oleh pelbagai pihak yang bekerja di lembaga pemeberantasan korupsi tersebut.
Oleh sebab inilah, Ruki perlu mengkaji dan meninjau ulang penyataannya yang menganggap “KPK telah kalah”. Sebab, jika dikatakan KPK kalah, maka tidak menutup kemungkinan para koruptor akan bertiriak jingkrakan, bahkan mengamini dengan hati yang berbuna-bunga akibat lumpuhmya hukum korupsi.
Sejarah KPK
Perlu diketahui bersama, sebelum Presiden Megawati mempunyai plandingmendirikan KPK sebagai lembaga yang berperan memberantas kasus korupsi, ternyata jauh sebelum itu gagasan telah terwujud pada era kepemerintahan Soeharto.
Pada tahun 1970, soeharto pernah membentuk “Komisi Empat”tugasnya tak berbeda jauh dengan KPK namun hanya berumur empat bulan saja. Selanjutnya, akibat dilengserkan dari kursi kekuasaan, progam tersebut diteruskan oleh Presiden BJ Habibie. Yakni, Presiden ketiga ini melahirkan dua undang- undang yang menjadi landasan pembentukan KPK; UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN serta UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan adanya UU yang dilahirkan BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid kemudian menindak lanjuti Undang-undang tersebut dengan membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipimpin Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto (A3S). Namun sayang, tim yang dimotori oleh A3S ini hanya berumur satu tahun saja. Namun selain membentuk tim tersebut, Gus Dur juga membentuk KPKPN(Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) yang berumur empat tahun. Oleh adanya bekal ketiga Presideninilah yang “mempermudah” Megawati Soekarno Putri, sebagai pengganti Gusdur akibat dilengsekan MPR untuk melanjutkan dengan mendirikan institusi KPK yang fokus dalam upaya menangani kasus korupsi.
Sejarah yang panjang tersebut yang seharusnya KPK bentukan megawati harus tetap eksis. Pasalnya, mengingat korupsi yang terjadi di Indonesia kian subur, maka eksistensi Lembaga pemberantas korupsi sangatlah diperukan. Oleh sebab itu, pihak pemerintahan dan masyarakat harus mendukung penuh gerak langkah KPK.
Nawa Cita
Dulu waktu kampanye pemilihan presiden (Pilpres) Presiden Joko Widodo “berjanji” akan semangat memberantas kasus korupsi. Semangat jokowi hingga dibukkukan kedalam agenda sakral yang tertuan dalam “Nawa Cita”.
Dalam dokumen nawa cita dia menyebutkan bahwa, “akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya". Bahkan Presiden Jokowi menyatakan, akan membuka keterlibatan publik dan media massa dalam pengawasan terhadap upaya tindakan korupsi maupun proses penegakan hukum terhadap pidana korupsi.
Jadi dalam konteks ini kita tidak perlu khawatir. Jika Presiden telah berkomitmen memberantas korupsi, maka nasib KPK masih belum kalah. Tentunya hal ini harus didasarkan oleh keyakianan nurani yang “muak” dengan tindakan korupsi yang selama ini menjadi sebab negara terpuruk.
Namun, jika presiden ternyata hanya mengandakan pemberantasan korupsi tanpa ada tindakan yang nyata, atau bahka justru berniat menggembosi KPK dengan menempatkan orang-orangnya dalam jajaran tinggi KPK yang bertujuan guna melindungi penyandang kasus korupsi maka hal yang demikian justru sangat berbanding terbalik dengan cita-cita mulia “Nawa Cita”.
Oleh sebab itulah peran dan kebijakan Jokowi sebagai kepala negara sekaligus presiden Republik Indonesia (RI) dalam konteks ini sangat diperlukan. Jangan sampai janji hanya sekadar janji. Dan bagaimanapun resikonya komitmen seorang Jokowi harus dibuktikan. Sebab dalam pepatah arab dikatakan bahwa “janji adalah hutang”.
Dengan demikian, oleh sebab adanya dokumen Nawacita itulah kita yakin bahwa komitmen Presiden dalam persoalan pemberantasan korupsi belum luntur. Yang dalam konteks ini perlu ditegaskan bahwa, Presiden tidak boleh disetir oleh pihak manapun. Dia harus mengatakan yang sebenar-benarnya: yang salah harus diadili dan yang benar harus dibela. Insyaalah, berkat adilnya pengusa, Indonesia akan bangkit, lalu menjadi hebat!
Wallahu a’lam bi al-Shawab
Tayang di Jateng Ekspres