Dr. Mohammad Nasih, pakar politik Universitas Indoensia menyebutkan, dalam dinamika bernegara, Pemimpin merupakan simbol terpenting yang harus memiliki kapasitas ilmu ulama’, amwalul aghniya’, wa-siyasatul muluk walmalak. Atau denagn bahasa lain, eksistensi seorang pemimpin harus mencerminkan figur panutan yang memiliki keilmuan dan kecerdasan tinggi, kebijaksanaan agung, harta melimpah ruah dan “teman” para pemimpin revolusioner.
|
Ahmad Anwar Musyafa’
Penulis Lepas
|
Dicuplik dari sejarah, pada hakikatnya Indonesia mempunyai banyak figur pemimpin yang berkompeten untuk menjadi nohkoda demokrasi. pertama adalah Soekarno, figur yang memiliki semangat membara merebut kemerdekaan bangsa dan negara. Kepiawaiannya dalam menndominasi masa untuk mengusir penjajah merupakan bukti sejarah bahwa sosok ini merupakan seorang yang kuat lahir batin. Ya, walaupun berbagai macam intimidasi yang diakukan oleh penjajah tak sedikit pun menyurutkan niatnya untuk membawa kita menuju peradaban yang lebih cerah.
Kedua, Soeharto yang memiliki jiwa patriotis; keberhasilannya menggilas para kaum komunis yang kemudian diiringi oleh berbagai pembangunan besar guna menyemarakkan eksistensi kemerdekaan yang mulia menandakan bahwa figur tersebut berdaya atas segala dinamika publik.
Ketiga, adalah Abdurrahman Wahid yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, yang diimbangi dengan tingkat spiritualitasnya yang luar biasa menjadikan Gus Dur diberkahi berjuta sanjungan dari berbagai negara, etis, ras dan masyarakat dunia.
Tiga figur di atas merupakan contoh sosok pemimpin yang sangat ikhlas nan bersahaja. Capaian prestasi yang banyak ditorehkan merupakan bukti sejarah, yang walaupun beliau harus lengser sebelum masa pengabdiannya usai. Dalam konteks ini, pelajaran untuk saling mengintropeksi diri menjadi salah satu cerminan wajib yang mau-tidak mau harus dimiliki oleh figur pemimpin. Sebab dengan adanya intropeksi dirilah yang akan menjadikan manusia lebih mengerti makna kehidupan.
Harus Manusia
Dalam al-Qur’an dikelaskan bahwa, eksistensi manusia adalah sebagai pemimpin di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Oleh sebab demikian, hadirnya manusia memberian hembusan angin segar bagi keberlangsungan dinamika hidup bersosial. Ya, begitu urgen peran manusia dalam rangka menjadi “pemimpin”, Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal telah merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin.
Dalam konteks ini, keberadaan figur pemimpin menjadi salah satu tonggak dalam mempelopori suatu dinamika berkehidupan. Ibaratnya, jika negara tanpa pemimpin maka akan mengalami kevakuman yang sangah dahsyat. Atau meminjam istilah Cendekia Muda dari Lampung, Slamet Sudaryono (Bang Su), negara tanpa pemimpin adalah uang tanpa logo (polos), yang jika dibuat sebagai alat transaksi maka tak akan menghasilkan sesuatu (tak laku). Begitu dahsyatnya figur pemimpin dalam mempelopori suatu komunitas, menjadikan keniscayaan baginya untuk selalu berkontribusi aktif dalam rangka membangun peradaban yang lebih gemilang. Namun sayang seribu sayang, berdasarkan realita yang terjadi, dewasa ini banyak pemimpin bumi pertiwi yang terkena virus “ketuhanan”. Yakni, sifat kebenaran dalam dirinya dianggap sebagai suatu hal yang mutlak hukumnya. Dan seakan hal ini meniscayakan adanya kebenaran dari pihak lain.
Keberadaan virus tersebutlah yang berimplikasi terhadap kakunya sistem yang tercipta. Padahal jika kita belajar Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (NDP HMI), kebenaran yang dimiliki manusia adalah relatif, dan kebenaran mutlak semata hanya milik Tuhan YME. Artinya, kesalahan yang terkandung dalam diri manusia merupakan suatu keniscayaan yang selalu melekat pekat. Itulah sebabnya, hadist nabi menyebutkan bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa.
Dalam konteks ini, pemimpin manusia harus senantiasa mengintropeksi diri agar menghadirkan cita rasa manusiawi. Yakni, walaupun hakikatnya pemimpin adalah orang yang mumpuni, namun ketika ada masukan atau kritikan dari pihak lain maka hal tersebut tidak boleh dijadikan sebagai dasar kesalahan yang mengisyaratkan bahwa kebenaran mutlak hanyalah miliknya pribadi. Sehingga kebenaran orang lain diganeralisir sebagai kesalahan mutlak yang kebenarannya tidak bisa diterima oleh akal pikiran.
Sifat tersebutlah yang perlu untuk diwaspadai bagi siapa pun yang sedang menyandang sebagai pemimpin. Maksudnya adalah, pemimpin tidak boleh alergi terhadap kritikan yang masuk dalam konteks apa pun. Sebab, pada hakikatnya kritikan merupakan suatu keniscayaan sebagai bahan dasar instropeksi diri guna melahirkan kebaikan kelak dikemudian hari.
Logika sederhananya, perlunya pemimpin untuk senantiasa menerima kritikan adalah agar bagaimana seseorang bisa menganggap bahwa eksistensinya merupakan manusia, bukan Tuhan. Jika menurut pandangannya, kebenaran yang dimiliki merupakan kebenaran yang relatif sempurna, namun jangan pernah menganggap bahwa kesalahan yang dimiliki manusia lainnya tidak mengandung unsur kebenaran sedikit pun. Artinya, sebenar-benarnya manusia menggap pribadinya benar, pasti unsur kesalah juga akan terliput di dalamnya. Pun demikian. Sesalah-salah manusia dianggap salah oleh manusia lainnya, namun unsur kebenaran juga akan meliputi kesalahan tersebut.
Pentingnya memahami hal demikian adalah, ketika pemimpin bisa menerima masukan atau kritikan dari pihak lain, maka hal tersebut menyatakan secara tersirat bahwa keberadaannya sebagai pimpinan bagi manusia yang dipimpinnya telah mewatakkan sifat yang memanusiakan manusia.
Jika hal ini diterapkan sebagaimana dinamika beenegara dan berbangsa dalam konteks Indonesia, maka peran suatu ujung tombak nahkoda demokrasi akan menjalankan misi demokrasi secara demokratis. Namun begitu pula sebaliknya. Jika eksistensi pemimpi tak menghiraukan suara manusia lainnya, yang digeneralisir sebagai suatu suara yang salah dan tak mengandung unsur ketidak benaran sedikit pun, maka hal tersebut menandakan bahwa eksistensinya sebagai pemimpin telah memadai Tuhan, yang hakikat kebenarannya tidak bisa diganggu gugat. Wallahu a’lam
Title :
Pemimpin (Harus) Manusia
Description : Dr. Mohammad Nasih, pakar politik Universitas Indoensia menyebutkan, dalam dinamika bernegara, Pemimpin merupakan simbol terpenting yang ha...
Rating :
5