Sungguh ironis, penantian masyarakat akan janji pemerintah untuk menciptakan “harmonisasi”dan
menumpas ketidak nyamanan hidup keluarga kelas menengah-kebawah telah menjadi
bayang-bayang semu dan hampir terlupakan. Bagaimana tidak, janji manis tersebut
hanya meldak dalam media. Namun dalam dunia nyata tak pernah ada realisasi
rill.
|
Ahmad Anwar
Musyafa’
Alumnus Madrasah Aliyah Negeri Lasem
(MANELA)
|
Menurut bambang
Soesatyo, Anggota Komisi III DPR RI, proses seperti ini telah terjadi
percepatan dan proses eskalasi ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintah.
Dalam hal ini presiden dan wakilnya. Sehingga, amat sulit bagi pemerintah untuk
membangun kembali citra dan kepercayaan masyarakat. Jika mengingat pengalaman
masa lalu, tepatnya ketika sosok mantan angkatan bersejata, Susilo Bambang
Yudhoyono mendeklarasikan sebagai calon Presiden Negara Republik Indonesia
(Capres RI), dia berorasi dengan suara sangat lantang dan nafsunya yang membara
untuk segera melenyapkan kasus korupsi di negeri ini. Namun realitasnya, sampai
saat ini janji tersebut hanya sebatas janji belaka.
Secara kasatmata,
tindakadakan inkar tersebut memicu timbulnya rasa pesimisme berkelanjutan yang
membuat masyarakat semakin tak percaya terhadap tindak-tanduk pihak
pemerintahan. Atau dengan kata lain, banyak kalangan masyarakat yang berwacana,
perpolitikan tak lain hanya dijadikan sebagai sarana bisni memperkaya individu
dan kelompok yang mayoritasnya adalah para pemangku jabatan. Sedangkan, nasib wongcilik
tetap saja tak dihiraukan.
Noda Demokrasi
Dari
wacana yang menganggap bahwa perpolitikan hanya dijadikan sebagai sarana
pekerjaan yang notabene dikhususkan untuk memperkaya diri dan golongan
merupakan tindakan yang salah dan tak sesuai dengan cita-cita perpolitikan.
Menurut Plato, dengan
adanya hak atas kepemilikan dari golongan tertentu, akan tercipta kecemburuan
dan kesenjangan sosial yang menyebabkan semua orang untuk menumpuk kekayaannya,
yang mengakibatkan kompetisi yang tidak sehat. Hal seperti ini mengakibatkan
masyarakat semakin apatis terhadap perpolitikan. Alhasil, tindakan mengambil
matrealistik dianggap sebagai langkah paling mujarab.
Berdasarkan
pengalaman yang lalu, pelbagai surveymenunjukkan bahwa, lebih dari 60% pemimpin
menginginkan agar para calon legislatif memberikan imbalan kepada pemilih untuk
memilih. Awal kasus seperti inilah yang
mengakibatkan sistem demokrasi di Indonesia semakin terpuruk. Sebab, pihak pemerintah
dan masyarakat sama-sama sepakat untuk “bekerjasama”.
Dalam konteks ini
Palato juga mengatakan; berdasarkan pendapatnya, masyarakat merupakan hakim
yang tidak becus dalam banyak masalah politik. Masyarakat cenderung memberikan
penilaian berdasarkan kebodohan, dorongan hati, sentimen, dan prasangka. Yang
paling buruk adalah demokrasi seperti itu mendorong munculnya pemimpin-pemimpin
yang tidak becus. Karena pemimpin memperoleh kepemimpinannya dari masyarakat,
pemimpin cenderung mengikuti tingkat masyarakat demi keamanan kedudukannya.
Oleh sebab itu, dalam konteks ini perlu adanya penyegaran kembali dalam
menjunjung tinggi etika berdemokrasi.
Meruwat
Meminjam teori
Robert A. Dhal yang menyatakan bahwa, negara demokrasi harus memgang tujuh
prinsip pokok, yaitu, kontrol atas keputusan pemerintah, pemilihan yang teliti
dan jujur, hak memilih dan dipilih, kebebasan menyatakan pendapat tanpa
ancaman, kebebasan mengakses informasi dan kebebasan berserikat.
Dipandang dari
kacamata penulis, eksistensi negara Indonesia yang saat ini menerapkan sistem
demokrasi nampaknya sanagat jauh dari prinsip tersebut. Maka tak heran, jika
keadilan yang menjadi cita-cita berasama bangsa ini belum juga terpenuhi. Sebab,
perlu diketahui bersama, sistem demokrasi negara Indonesia yang sudah terbilang
dewasa ini, pada dekade sekarang ini sedang mengalami penyakit komplek akibat tumbuh
suburnya Korupsi, kolusi dan Nepotisme (neo
KKN). Dan hal ini harus secepatnya ditangani. sebab, jika
penyakit tersebut hanya dibiarkan maka negara ideal yang selama ini kita
idamkan sanagat hayal untuk dicapai.
Dalam kontek ini
Plato mengatakan; menurutnya, Negara ideal didasarkan pada prinsip-prinsip
larangan atas kepemilikan pribadi, baik dalam bentuk uang atau harta, keluarga,
anak dan istri inilah yang disebut nihilism. Dalam konteks menegakkan nihilsm
seperti yang diungkapkan plato tentunya peran dari seorang pemimpin juga harus
mengalami perbaikan. Perbaikan yang dimaksud adalah, membenahi kesenjangan
kompetisi yang tak sehat (kampanye hitam), menyediakan pendidikan politik bagi semua orang tanpa terkecuali dan yang
akhirnya akan melahirkan sistem pemerintahan yang ideal.
Menurut pakar
politik dari Universitas Indonesia (UI), Dr. Mohammad Nasih mengatakan; Pemimpin
ideal adalah pemimpin yang natural, yang tidak perlu latihan-latihan kalau maju
ke depan publik. Salamnya tidak perlu dilatih dulu, pidatonya tidak perlu
dilatih lagi, gayanya tidak perlu diatur-atur, dll. semuanya berjalan apa
adanya. Itulah pemimpin genuin. Kalau masih diatur-atur, itu pemimpin
yang muncul karena pencitraan. Dan tinggal menunggu dalam waktu tidak lama,
rakyat akan kecewa. Oleh sebab itu, melihat suasana negara demokrasi yang kian
runyam, tugas masyarakat adalah menjadi pemilih yang cerdas.
Dengan demikian,
apabila kita ingin mewujudkan demokrasi yang lebih baik, maka langkah utama
yang harus dilakukan adalah menjadi pemilih yang melek politik dan tidak
menjadi aliran fanatik politik. Alhasil, jika hal tersebut dapat terlaksana
maka eksistensi demokrasi yang selama dicitakan untuk mewujudkan negara yang
adil akan segera terlaksana. Wallahu a’lam bi al-shaab
Tayang di Harian Rakyat Jateng