Juni adalah bulan Soekarno. Di bulan ia lahir dan wafat ini penting
untuk kita mengingat kembali gagasan pendiri bangsa ini tentang Islam.
Perhatiannya terhadap Islam begitu bergairah di zaman kemerdekaan.
Berbagai gagasannya tentang Islam masih sangat relevan hingga kini.
Presiden pertama Indonesia yang akrab disapa Bung Karno ini
mengedepankan esensi dan substansi Islam ketimbang simbol-simbol Islam
yang kaku. Ia menyalakan, apa yang ia sebut sebagai, api Islam. Ia ingin
menghidupkan kembali jiwa Islam sebagai ajaran universal sebagaimana
visi etik Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad.
Karena itu, ia menolak kecenderungan apa yang ia sebut sebagai
masyarakat onta atau Islam Sontoloyo. Kecenderungan ini bukan hanya
masih menggejala, bahkan kian menguat kini.
Sebagai pencetus Pancasila dan merumuskan nilai-nilainya, ia
mengadopsi apa yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah sebagai petunjuk
urusan menyusun dan membangkitkan masyarakat. Pancasila itu salah satu
wujud bagaimana Bung Karno menerapkan visi etik Al-Quran dan sunah nabi
itu.
Bung Karno mendalami Islam saat berada di Endeh. Bahkan menurut H.A. Notosoetardjo dalam Rakyat Bertanya Bung Karno Menjawab, ia
menekuni pengetahuan Islam berawal saat dari Penjara Sukamiskin
kemudian dilanjutkan dengan lebih intensif saat pembuangan di Endeh. Ia
baru mulai mengeluarkan berbagai pendapatnya di media massa mengenai
masalah-masalah Islam saat ia dipindahkan ke Bengkulu.
Dalam berbagai tulisannya tentang Islam itu tampak pengetahuan Bung
Karno tentang Islam begitu luas dan mendalami persoalan. Selain melahap
berbagai buku dari para ulama di berbagai negeri Islam, ia juga murid
dari tokoh utama Sarekat Islam: Tjokroaminoto (Baca: Islam Progresif Tjokroaminoto).
Bisa dibilang, berbagai gagasannya tentang Islam ikut memberi landasan Islam Indonesia atau Nusantara.
Berikut lima ciri masyarakat onta atau Islam Sontoloyo yang
menurutnya membuat Islam mundur dan konflik tak berujung di tengah
masyarakat dan penghambat kemajuan bangsa.
- Royal Mencap Kafir
Dalam Surat-surat Islam dari Endeh (1930-an) dan Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara (1940), Bung Karno menulis kritik terhadap kecenderungan sebagian ulama dan umat Islam saat itu yang begitu mudah mencap kafir.
“Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap
segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat kafir;
radio dan kedokteran kafir; sendok dan garpu dan kursi kafir; tulisan
Latin kafir; yang bergaul dengan bangsa yang bukan bangsa Islam pun
kafir!”
Menurut Bung Karno, yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, radio dan listrik, kemoderenan dan ke-uptodate-an berarti mereka mau tinggal dalam keterbelakangan, kuno, makan tanpa sendok, dan naik onta.
“Astagfirullah, inikah Islam? Inikah agama Allah?” tulisnya.
- Taklid Buta
Bagi Bung Karno, taklid itu seperti abu, debu, dan asap. Ia bukan api
Islam. Islam tak lagi jadi agama yang boleh dipikirkan secara merdeka,
tapi telah menjadi monopoli kaum fakih dan kaum tirakat.
“Hampir seribu tahun akal dikungkung sejak kaum Mu’tazilah sampai
Ibnu Rusyd dan lainnya. Asy’arisme pangkal taklidisme dalam Islam. Akal
tidak diperkenankan lagi. Akal itu dikutuk seakan-akan dari setan
datangnya,” paparnya.
Mengutip Snouck Hurgronje, ia mengatakan ulama dari segala
waktu terikat pada ucapan ulama terdahulu, masing-masing dalam kalangan
mazhabnya. Syariat itu akhirnya bergantung kepada ijma’ dan tidak kepada
maksud-maksud firman yang asli.
Padahal jelas, baginya, dua sumber utama Islam adalah Kalam Allah dan
Sunah Rasul. Dari dua sumber ini pula para ulama mengambil kesimpulan
hukum. Dari dua sumber utama ini pula kita mesti menyalakan api Islam.
Menurut Bung Karno, Al-Quran dan Hadits itu tidak berubah. Bahkan
“teguh selama-lamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas.”
Tapi pandangan masyarakat yang senantiasa berubah, berevolusi, dinamis,
mengalir.
- Mengutamakan Fikih
Dalam Islam Sontoloyo (1940), Bung Karno menulis bahwa fikih
bukanlah satu-satunya tiang keagamaan. Tiang utamanya ialah terletak
dalam ketundukan kita punya jiwa pada Allah.
“Fikih itu, walaupun sudah kita saring semurni-murninya, belum
mencukupi semua kehendak agama. Belum dapat memenuhi syarat-syarat
ketuhanan yang sejati, yang juga berhajat kepada tauhid, akhlak,
kebaktian ruhani, kepada Allah,” tulisnya.
Menurutnya, Al-Quran dan api Islam seakan-akan mati karena kitab
fikih itu sajalah yang dijadikan pedoman hidup, bukan kalam Illahi
sendiri.
“Dunia Islam sekarang ini setengah mati, \tiada nyawa, tiada api,
karena umat Islam sama sekali tenggelam dalam kitab fikihnyasaja, tidak
terbang seperti burung garuda di atas udara-udaranya Levend Geloof,
yakni udara-udaranya agama yang hidup.”
Hal itu tak berarti Bung Karno membenci fikih. Menurutnya, fikih
tetap penting. Bahkan ia menyebutkan, masyarakat Islam tak dapat berdiri
tanpa hukum-hukum fikih. Sebagaimana tiada masyarakat tanpa aturan
perundang-undangan.
“Saya hanya membenci orang atau perikehidupan agama yang terlalu
mendasarkan diri kepada fikih, kepada hukum-hukumnya syariat itu saja,”
tulisnya.
Dengan mengutip Farid Wadji, Muhammad Ali, Kwada Kamaludin, Amir Ali,
ia mengatakan bahwa alangkah baiknya di samping mempelajari fikih kita
juga dengan sungguh belajar nilai dan visi etik Al-Quran.
Ini Bung Karno praktikkan, salah satunya saat anjing yang ia pelihara
menjilat air di dalam panci di dekat sumur. Ia kemudian Ia pun meminta
Ratna Juami untuk membuang air itu dan mencuci panci itu beberapa kali
dengan sabun dan kreolin.
“Di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi s.a.w. sendiri telah
menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan
segala urusan dunia yang baik dan tidak nyata haram atau makruh,”
paparnya.
- Tak Melek Sejarah
Dalam Surat-surat Islam dari Endeh (1930-an), Bung Karno menulis, umumnya kita punya ulama dan kiai tapi tak ada sedikitpun “feeling”
kepada sejarahnya. Mereka punya minat hanya tertuju pada agama,
terutama pada bagian fikih. Tapi pengetahuan tentang sejarah umumnya
nihil. Padahal sejarah adalah padang penyelidikan yang maha penting!
“Kebanyakan mereka tak mengetahui sedikitpun dari sejarah itu.
Sejarah, apalagi bagian “yang lebih dalam”, yakni yang mempelajari
kekuatan-kekuatan masayarakat yang menyebabkan kemajuan atau
kemundurannya sesuatu bangsa. Sejarah itu sama sekali tidak menarik
mereka punya perhatian,” tulisnya.
Paling mujur, lanjut Bung Karno, mereka hanya mengetahui tarikh Islam
saja. Dari tarikh Islam ini seharusnya mereka sudah dapat menggali juga
banyak ilmu yang berharga. Tapi umumnya kita mempelajari hukum, kenal
isi kitab fikih, mengetahui tiap perintah dan larangan agama hingga yang
terkecil, tapi kita tidak mengetahui bagaimana cara Nabi, para sahabat,
tabiin, khalifah menaafsirkan perintah dan larangan-larangan Allah di
dalam urusan sehari-hari dan urusan negara.
“Kita sama sekali gelap dan buta buat di dalam hal menafsirkan itu oleh karena tidak mengenal tarikh,” imbuhnya.
Menurutnya, pelajaran terbesar dari sejarah adalah bahwa Islam di
zamannya yang pertama dapat terbang meninggi seperti burung garuda di
atas angkasa karena fikih tidak berdiri sendiri. Fikih disertai dengan
tauhid dan etiknya Islam yang menyala-nyala. Fikih hanyalah “kendaraan”
saja.
Kendaraan ini dikusiri oleh rohnya etik Islam serta tuhid yang hidup.
Dengan fikih yang demikian itulah umat Islam menjadi cakrawati (pucuk
pimpinan) di separuh dunia!
Dengan mengutip Essad Bey, Bung Karno mengatakan, jia kedudukan fikih
begitu sentral di situlah Islam membeku menjadi satu sistem formil
belakang. Ia tiada bergerak lagi, ia mandek! Bukanlah saja mandek, fikih
bukan lagi menjadi petunjuk dan pembatas hidup.
Jika pemuka dan umat Islam Indonesia tetap tidak mengindahkan
pelajaran besar dari sejarahnya sendiri dan mengikuti jejak para
pemimpin besar di negeri lain serta hanya berorientasi fikih, maka
jangan harap umat Islam Indonesia akan dapat mempunyai kekuatan jiwa
hebat untuk menjunjung dirinya dari keadaan aib yang sekarang ini.
- Hadis Lemah sebagai Pedoman
Menurut sebagian ulama, hadis lemah (da’if) bisa dijadikan sumber
hukum selama tak bertentangan dengan Al-Quran. Bagi Bung Karno sendiri,
hadis lemah di antara yang menyebabkan kemunduran Islam.
“Saya perlu kepada Bukhari atau Muslim itu karena di situlah dihimpun
hadis-hadis sahih. Walaupun dari keterangan salah seorang pengamat
Islam bangsa Inggris, di Bukhari pun masih terselip hadis-hadis yang
lemah. Dia pun menerangkan, bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam,
kemesuman Islam, ketakhayulan orang Islam banyaklah karena hadis-hadis
lemah itu yang sering lebih laku daripada ayat-ayat Al-Quran. Saya kira
anggapan ini adalah benar.”