Banyak orang yang melihat hukum Islam sebagai hukum yang kolot, dogmatis, dan tanpa metodologi yang ketat.
 |
| Moh. Mahfud MD |
Hukum Islam kadang dikonotasikan sebagai hukumnya orang-orang kolot
yang hanya mengajarkan cara-cara ibadah mahdhah. Padahal, hukum Islam
didukung oleh metodologi penemuan dan penetapan hukum yang tak kalah
dari metode- metode ilmu hukum modern.
Ketika belajar di
fakultas hukum yang, katanya, muatan maupun metodologinya sudah modern,
saya merasa mudah karena sudah mempelajari asas dan metodologinya saat
dimadrasah, pondok pesantren, dan sekolah-sekolah Islam yang saya
tempuh. Teori penjenjangan hukum (hierarki perundang-undangan) atau
Stufenbautheorie dari Hans Kelsen, misalnya, sudah diajarkan di dalam
metodologi hukum Islam melalui dialog
antara Nabi Muhammad dan Muadz bin
Jabal, belasan abad sebelum Hans Kelsen lahir.
Ketika akan
menugaskan Muadz bin Jabal ke Yaman, Nabi bertanya kepada Muadz tentang
cara menetapkan hukum jika ada masalah yang harus dihukumi. Muadz pun
menjawab, dirinya akan menghukumi sesuai dengan ketentuan Alquran.
”Bagaimana jika tidak ditemukan ketentuannya di dalam Alquran?” tanya
Nabi. ”Saya akan berpedoman pada Sunah Rasul,” jawab Muadz.
”Jika tidak menemukan di dalam Sunah?” tanya Nabi lagi. ”Saya akan
menggunakan rarayu (akal) untuk berijtihad,” jawab Muadz. Lalu, Nabi
memuji Muadz sebagai sahabatnya yang alim dan ahli hukum. Berdasarkan
hadis tersebut, secara metodologis sejak awal kehadirannya, Islam sudah
mengajarkan susunan hukum yang hierarkis, tak bisa dibalik karena yang
lebih tinggi harus menjadi dari dasar dari yang sesudahnya, yakni, Alquran, Sunah Rasul, ijtihad, dan semua tingkatan-tingkatan dari
ijtihad itu sendiri.
Teori ini mendahului teori stupa dari Hans
Kelsen yang menyebut bahwa hukum tersusun secara berjenjang dan berlapis
dengan keharusan bahwa peraturan yang lebih rendah harus bersumber dan
tak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya. Hans Kelsen yang
hidup pada abad ke-20 mengajarkan dalam teori hierarkinya bahwa
peraturan perundang-undangan berjenjang mulai konstitusi, UU, hingga
seterusnya ke bawah.
Dalam tata hukum Indonesia pun, teori
penjenjangan ini berlaku sehingga yang mengurutkan peraturan dan
perundang- undangan mulai UUD 1945, tap MPR, UU/perppu, PP, perpres,
perda, hingga seterusnya ke bawah. Begitu pun dalam soal hubungan antara
hukum dan masyarakat. Ada teori bahwa hukum berubah-ubah sesuai dengan
perubahan masyarakatnya karena hukum bukan ada dalam vacuum.
Hukum dibuat untuk melayani masyarakatnya, sehingga kalau masyarakat
berubah maka hukumnya pun berubah. Kalau zaman atau tempatnya berubah
maka hukumnya pun bisa berubah. Ubi societas ibi ius, di mana ada
masyarakat, di sana ada hukum (untuk masyarakat itu). Dalam teori
konstitusi, ada teori resultante dari KC Wheare yang mengatakan bahwa
konstitusi itu adalah produk resultante (kesepakatan) sesuai dengan
keadaan sosial ekonomi, politik, dan budaya saat dibuat.
Karena
itu, menurut Wheare, yang melempar teorinya pada abad ke-20, konstitusi
bisa berbeda- beda dan bisa berubahubah sesuai dengan perubahan situasi
dan kondisi masyarakat, baik waktu maupun tempatnya. Belasan abad
sebelum Wheare lahir, dalam hukum Islam sudah ada kaidah yang kemudian
dipakai oleh Wheare tersebut melalui yang berbunyi, ”Tak terbantahkan
bahwa hukum itu berubah sesuai dengan perubahan waktu, tempat, dan
budaya masyarakatnya”, laa yunkaru taghayyurul ahkaam bitaghayyuril
azmaan wal amkaan wal awalaa yunkaru taghayyurul ahkaam bitaghayyuril
azmaan wal amkaan wal awaid.
Atau kaidah bahwa ”hukum berubah
sesuai dengan illah atau latar belakangnya”, alhukmu yaduuru maalhukmu
yaduuru maa illatihi. Umar ibn Khatthab dapat disebut sebagai
fuqohafuqoha yang memberi contoh bahwa implementasi hukum itu
disesuaikan dengan perubahan situasi masyarakat.
Umar tidak
memberikan zakat kepada mualaf (orang-orang yang baru masuk Islam),
padahal dalam Alquran disebutkan mualaf adalah salah satu dari delapan
kelompok yang berhak mendapatkan zakat. Alasan Umar, zaman sudah berubah
dan Islam sudah kuat sehingga tak perlu memberi insentif agar orang
masuk Islam. Adanya asas dalam hukum modern bahwa jika ada hukum baru
maka hukum lama tak berlaku (lex posteriori derogat legi priori), di
dalam Islam sudah ada asas naasikh dan mansuukh (hukum baru menghapus
hukum lama dalam hal yang sama).
Dalam konteks taksonomi hukum
Islam juga dikenal pembidangan dalam berbagai jenis hukum seperti hukum
perdata (syakhshiyyah) , hukum pidana (jinaayah), hukum politik dan
ketatanegaraan (siyaasah) , dan hukum pemerintahan(imaamah) . Kaidah
hukmul hakim yarfaul khilaaf, putusan hakim itu menyelesaikan perbedaan,
adalah kaidah di dalam hukum Islam yang, hebatnya, kemudian berlaku di
semua negara dan semua sistem hukum.
Meskipun ketentuan hukum
tentang hak dan kewajiban manusia sudah jelas, kerap timbul perselisihan
di antara manusia karena pelanggaran ataupun karena perbedaan tafsir
atas hukum. Karena itulah, ada lembaga pengadilan dan hakim sebagai
pengadil. Jika hakim sudah memutus dengan kekuatan hukum yang tetap maka
putusan itu mengikat, mengakhiri perselisihan, terlepas dari disetujui
atau tidak disetujui oleh pihakpihak yang bersengketa.
Kaidah
ini menjamin kepastian agar perselisihan bisa diakhiri. Jika dalam
membuat putusan ternyata hakim melakukan kesalahan, hakimnya bisa
dihukum tanpa harus mempersoalkan vonisnya yang sudah final. Jauh
sebelum lahirnya teori-teori hukum modern, sebenarnya hukum Islam sudah
modern lebih dulu.
Menurut beberapa literatur metode kodifikasi
dan unifikasi hukum modern, yang ditandai
oleh munculnya code penal
(kitab hukum pidana) dan code civil (kitab hukum perdata) di Prancis,
didahului dengan pengiriman ahli-ahli hukum Prancis untuk mendalami
metodologi hukum Islam di Universitas Al Azhar, Mesir.
Koran SINDO, 28 Maret 2015