|
Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri |
Di balik serangan
koalisi pimpinan Arab Saudi ke basis-basis militer milisi al Khauthi di
Yaman ternyata ada fakta menarik. Yaitu, bila negara-negara Arab mau
bersatu sebenarnya mereka sangat kuat.
Koalisi sepuluh negara - Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Yordania, Mesir,
Maroko, Sudan, dan Pakistan–telah berhasil menghimpun 185 pesawat
tempur, 150 ribu personil tentara, dan puluhan kapal perang –sejumlah di
antaranya kapal selam. Semuanya siap bergerak menunggu perintah untuk
menggempur basis/pangkalan militer al Khauthi - baik udara, darat,
maupun laut.
Keberhasilan menggalang koalisi militer itulah yang
tampaknya menginspirasi para pemimpin Arab yang bersidang pada KTT
(Konferensi Tingkat Tinggi) ke-26 Liga Arab di Sharm al Sheikh, Mesir,
pekan lalu. Pada penutupan KTT, mereka bersepakat untuk membentuk
Kekuatan Bersama Militer Arab (Quwwah ‘Askariyah ‘Arabiyah Musytarakah).
Kesepakatan itu antara lain menyatakan, diperlukan intervensi
militer dengan cepat dalam rangka menghadapi tantangan yang bisa
mengancam keamanan, keselamatan, dan kedaulatan negara-negara anggota
Liga Arab. Juga untuk menghadapi ancaman langsung kelompok-kelompok
teroris. Disebutkan, kesertaan dalam koalisi militer ini bersifat
sukarela.
Namun, tidak dijelaskan negara atau kelompok mana yang
kini menjadi ancaman serius bagi negara-negara Liga Arab. Dalam
kesepakatan itu hanya dinyatakan, kawasan Timur Tengah kini menghadapi
ancaman paling membahayakan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Antara
lain yang dihadapi oleh Yaman, Suriah, Libia, dan Irak.
Tidak
disebutkan juga apakah Da’isy (Daulah Islamiyah fi al Iraq wa as
Syam/Suriah) alias ISIS dan Zionis Israel merupakan ancaman, sehingga
diperlukan campur tangan Kekuatan Bersama Militer Arab. Sejauh ini
koalisi yang dipimpin AS untuk menyerang basis-basis ISIS di Irak dan
Suriah sepertinya hanyalah koalisi setengah hati. Bahkan juga bagi
negara-negara Arab. Yordania yang marah dan ingin membalas dendam atas
pembakaran pilot tempurnya, Letnan Moaz al Kasasbeh, oleh ISIS, kini
pun tidak ada gaungnya.
Akibatnya, meskipun koalisi telah
menggempur basis-basis militer ISIS sejak beberapa pekan lalu, kelompok
radikal itu pun tetap eksis berkuasa di sebagian besar wilayah Irak dan
Suriah. Tidak ada tanda-tanda kekuatan militer ISIS melemah.
Koalisi
setengah hati negara-negara Arab ini bisa jadi lantaran mereka
menganggap ISIS bukan ancaman langsung. Yang berhadapan dengan ISIS
adalah pemerintahan rezim Presiden Bashar Assad dan pemerintahan PM
Haidar al Ibadi. Pemerintahan Assad dan al Ibadi didominasi oleh Syiah.
Artinya, bila ISIS berhasil dihancurkan maka yang berpengaruh di dua
negara tersebut adalah Syiah. Dan, bukan rahasia lagi bahwa
negara-negara Teluk sangat khawatir dengan pengaruh Syiah di kawasan
Timur Tengah.
Sedangkan Zionis Israel tampaknya kini dianggap
bukan lagi ancaman langsung yang bisa membahayakan kedaulatan dan
keamanan negara-negara Arab. Padahal bila Kekuatan Bersama Militer Arab
yang baru disetujui Liga Arab itu dikerahkan untuk menyerang Israel
seperti yang mereka lakukan terhadap al Khauthi di Yaman, negara Yahudi
berpenduduk sekitar 9 juta itu dipastikan akan kocar-kacir.
Sayangnya
hal itu jauh panggang dari api. Penyebabnya, karena Zionis Israel
didukung penuh oleh negara-negara Barat, utamanya AS. Sementara itu,
negara-negara Barat/AS merupakan sekutu utama bagi negara-negara yang
tergabung dalam Liga Arab. Karena itu, negara-negara Arab tampaknya
lebih memilih menempuh perundingan damai untuk menyelesaikan konflik
Israel-Palestina. Perundingan damai yang selama puluhan tahun tak
menghasilkan apa-apa, kecuali cengkerangaman Zionis Israel bertambah
kuat pada tanah air Palestina.
Yang justeru kini dianggap
sebagai ancaman langsung oleh negara-negara Arab, terutama negara-negara
Teluk, adalah Milisi al Khauthi di Yaman. Al Khauthi sendiri pada
awalnya adalah kelompok keagamaan di Saada, Yaman Utara. Mereka penganut
Syiah Zaidiyah. Pada 2004, mereka mendeklarasikan diri sebagai kelompok
perlawanan dengan membentuk sayap militer. Mereka menuntut
diterapkannya sistem pemerintahan Syiah Imamiyah.
Pada Juli
2014, al Khauthi berhasil mengalahkan kelompok-kelompok dan suku-suku
yang didukung partai Sunni. Mereka terus bergerak ke wilayah tengah dan
barat negeri itu. Mereka pun menggalang koalisi dengan mantan presiden
Ali Abdullah Saleh yang dulu menjadi musuhnya. Pada September 2014,
mereka berhasil menguasai Ibukota Sanaa, menyandera staf kepresidenan,
dan menjadikan Presiden Yaman Abd Rabbuh Mansur al Hadi sebagai tahanan
rumah.
Kemenangan demi kemenangan telah menjadikan al Khauthi di
atas angin. Hal inilah yang memaksa al Hadi untuk menerima perundingan
dengan al Khauthi dan kelompok lain buat membentuk pemerintahan
persatuan. Namun, al Khauthi menuntut lebih. Mereka ingin mendominasi
kekuasaan. Saat itulah al Hadi berhasil melarikan diri ke Aden. Di kota
pelabuhan itu, ia kemudian mengumumkan menarik dari pengunduran dirinya
dan menyatakan dia masih Presiden Yaman.
Tak terima dengan
tindakan Presiden al Hadi, milisi al Khauthi pun bergerak ke Aden untuk
menangkapnya. Atas permintaan Presiden al Hadi, Arab Saudi pun membentuk
koalisi sepuluh negara untuk menyerang basis-basis militer milisi al
Khauthi.
Saudi dan negara-negara Teluk lainnya menganggap
gerakan milisi al Khauti untuk merebut kekuasaan di Yaman akan
membahayakan keamanan negara mereka. Mereka adalah pemberontak. Apalagi
Yaman berbatasan langsung dengan Saudi di sebelah utara dan Oman di
sebelah timur. Sementara di sebelah selatan, Yaman berhadapan dengan
Laut Arab dan Teluk Aden dan Laut Merah di sebelah barat. Beberapa kali
milisi al Khauthi juga telah mengadakan latihan militer di perbatasan
dengan Saudi.
Hal itulah yang membuat Saudi berang. Mereka
menganggap Yaman akan sangat berbahaya bila kekuasaan diambil-alih
kelompok al Khauthi. Selain masalah ekonomi, dikhawatirkan pengaruh
Syiah akan menyebar ke negara-negara tetangganya dan akan mengancam
kekuasaan mereka. Karena itu Saudi dan negara-negara Teluk lainnya
kemudian membentuk koalisi militer sepuluh negara untuk membendung
pengaruh al Khauthi.
Berbagai bersoalan yang terus muncul di
kawasan Timur Tengah -- konflik di Suriah, instablitas di Irak dan
Libia, ISIS di Irak dan Suriah, dan terakhir perebutan kekuasaan di
Yaman -- di satu sisi tentu menguntungkan bagi Zionis Israel. Yakni,
ancaman keamanan ke negara Yahudi itu bisa dipastikan akan berkurang.
Namun, di sisi yang lain berbagai persoalan yang membelit negara-negara
di Timur Tengah itu pasti merugikan perjuangan bangsa Palestina untuk
meraih kedaulatan dan kemerdekaan.
Boro-boro mengerahkan Kekuatan
Bersama Milter Arab untuk menyerang negara Zionis Israel, perhatian dan
bantuan negara-negara Arab terhadap perjuangan bangsa Palestina juga
akan berkurang. Para pemimpin Arab akan lebih disibukkan dengan masalah
keamanan negara mereka sendiri.
Tayang di Republika
Title :
Mengapa Yaman, bukan Israel atau ISIS yang Diserang?
Description : Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri Di balik serangan koalisi pimpinan Arab Saudi ke basis-basis militer milisi al Khauthi di Yaman ternyata...
Rating :
5