|
Oleh: Farid Miharja
Warga Desa Gili Raja-Madura dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
|
Pada tanggal 18 januari 2015
lalu, Indonesia telah memberikan lecutan hukum yang tak seperti biasa.
Pasalnya, eksekusi mati yang ditetapkan Hakim Jaksa HM Prasetyo terhadap enam
bandar narkoba benar-benar telah dilaksanakan. Keenam pidana tersebut bernama, Namaona
Denis (48), warga Negara Malawi; Marco Archer Cardoso Mareira (53), warga
Negara Brazil; Daniel Enemua (38), warga Negara Nigeria; Ang Kim Soei (62)
belum diketahui kewarganegaraannya; Tran Thi Bich Hanh (37), warga Negara
Vietnam dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia, warga Negara Indonesia.
Perlu diketahui, vonis
eksekusi mati terhadap keeenam pidana tersebut seolah menggugah reaksi publik.
Tak hanya dalam negeri, reaksi negara luar seperti India dan Australia, bahkan
PBB sangat menolak keras hukuman mati yang ditetapkan oleh nega Republik
Indonesia.
Dikutip dari beritasatu.com, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Ban Ki-moon mengimbau
Indonesia untuk tidak melakukan eksekusi terhadap tahanan hukuman mati kasus
kejahatan narkoba, termasuk warga Australia, Brazil, Prancis, Ghana, Indonesia,
Nigeria dan Filipina.
Dalam konteks ini, Intervensi
yang dilakukan oleh pelbagai negara merupakan langkah yang bertujuan untuk
“menghalangi” berkibarnya panji hukum RI yang adil. Dan walaupun demikian,
Indonesia tak perlu goyah dalam menykapi intervensi tersebut. sebab, hukuman
mati yang ditetapkan oleh Jaksa Agung HM Prasetyo merupakan langkah yang tepat.
Pasalnya jika diamati menggunakan data, lonjakan kasus narkoba di Indonesia
kian menjadi.
Menurut Badan Narkotika
Nasional (BNN), pengguna narkotika dan obat terlarang di Indonesia per 2012
meningkat menjadi 4 juta orang atau meningkat 2 persen dari populasi dan
meningkat dari riset sebelumnya yang sebesar 3,8 juta jiwa.
Selain itu, hakim tak semata
menggunakan logika dan nalurinya dalam menjatuhkan vonis. Namun, sesuai ketentuan
hukum positiv yang berlaku di indonesia, yakni dalam UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
menunjukkan bahwa, hukuman untuk
pengkonsumsi, produsen, pengedar, maupun segala penyalahgunaan narkotika
diancam dengan hukuman yang berat. Salah satunya dalam Pasal 59 ayat (2) UU
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, yang berbunyi: “Jika
tindak pidana dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun (dua puluh) tahun dan
dikenakan pidana denda sebesar Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).”
Mengkebiri
HAM
Reaksi publik yang gencar
terjadi terhadap vonis mati yang ditetapkan oleh negara Indonesia salah satunya
beralasan sebab hal tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM). Sebab, mereka
memandang bahwa, bentuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah
pembunuhan atau melukai jasmai atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok
( Leah Levin, 1987: 45).
Selain itu,
anggapan mereka didasarkan pada UU pasal 3, yang menyebutkan; ”Setiap orang berhak atas
kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi ”, maka hukuman mati jelas melanggar hak
asasi manusia (HAM). Sebab dalam prespektif Undang-undang ini, orang yang dijatuhi hukuman mati dianggap telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya dan keamanan pribadinya.
Dalil lain yang
kerap digunakan bahwa vonis mati adalah tindakan yang meanggar HAM adalah Kovenan Internasional Tentang
Hak Sipil politik yaitu Pasal 6 ayat (1), yang
menyebutkan bahwa; Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak
ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang secara
gegabah boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya
dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM bahwa pelaksanaan eksekusi mati, telah melanggar
pasal 6 ayat (1), eksekusi mati pada dasarnya menimbulkan kesakitan fisik dan
dirampasnya hak hidup dari seseorang, dan ini yang bertentangan dengan Pasal 6
ayat (1) ICCPR dan Pasal 3 DUHAM. Maka kesimpulan
yang sama akan menyebutkan bahwa, hukuman mati merupakan perbuatan manusia yang
secara sadar telang “mengebiri” HAM seseorang.
Namun, hal
tersebut dapat ditepis melalui pasal 28 G UUD 1945. Jelas tertera
bahwa, manusia berhak untuk mendapatkan perlindungan. Contohnya perlindungan
dari kejahatan narkoba dan terorisme. Dalam kasus seperti ini asas kepentingan
umum sangat harus ditegakan menyampingkan kepentingan khusus atau pribadi.
Logikanya, jika seribu nyawa
terancam hanya sebab pengedar narkoba yang melakukan tindak kejahatan demi kepentingan
pribadi-kelompoknya, maka asas kepentingan umumlah yang harus dirapkan. Adapun
cara yang gunakan adalah, menumpas eksistensi pengedar narkoba dan yang
mengunggulkan kepentingan pribadi-kelompoknya dari pada kepentingan umum.
Kedaulatan
Hukum
Perlu disadari bahwa,
Indonesia merupakan negara hukum, yang apabila dimaknai dalam kehidupan
sehari-hari mengisyaratkan bahwa, hukum merupakan panglima yang harus digunakan
guna mengaturr kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bertujuan guna
melahirkan kenyamanan dan kesejahteraan berkehidupan.
Dalam konteks hukuman mati,
walaupun banyak negara menentang realita hukum positiv yang diterapkan oleh
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu merupakan urusan mereka. Dalam
hal ini, Indonesia tidak perlu terintervensi oleh desakakan mereka. Sebab makna
ketidak setujuan tersebut menunjukkan bahwa, kedaulatan hukum sedang
“dipertaruhan”.
Oleh sebab itu, dalam
menyikapi intervensu tersebut, Presiden, Hakim dan segenap anggota penegak
hukum di negeri ini harus sadar bahwa kedaulatan hukum Indonesia sedang diuji.
Bukan berarti adanya ujian tersebut justru menyurutkan spirit keadilan yang
kita miliki. Yakni, dengan menukar/melobi tahanan Indonesia dengan tahanan
negara lain. Namun dalam konteks ini, vonis mati merupakan konsekuensi logis
yang harus dijalankan mengingat maraknya tragedi narkoba yang kian hari kian
menggejala.
Tak usah terpengaruh oleh
negara lain, bahkan PBB sekali pun. Sebab, jika tujuan hukum tersebut semata
guna mempertahankan berkibarnya kedaulatan hukum RI maka eksekusi mati harus
tetap dijalankan. Dengan demikian, kita bisa bangga dan menunjukkan kepada
dunia bahwa Indonesia benar-benar negara hukum yang tak bisa diganggu gugat! Wallahu a’lam bi al-Shawab
Tayang di Radar Bangka