Islam, sebagaimana dikatakan oleh Leodourich, merupakan agama kemanusiaan alami, ekonomis dan sekaligus moralis. Pendapat tersebut sungguh sangatlah relevan dengan konsep agama “rahmatan lil alamin” yang memang dibentuk untuk menuntaskan segala problematika kehidupan umat manusia.
|
Denny Alfiana Anggraeni Aktifis Nahdlatul Wathan UIN Walisongo Semarang |
Berkaitan dengan konsep Islam tersebut, seluruh umat manusia tentunya sangat mewanti-wanti akan hadirnya kehidupan yang layak dalam konteks apapun. Atau dengan kata lain adalah terciptanya keadilan sosial, ekonomi, hukum yang berkesimpulan untuk menopang kesejahteraan bagi kehidupan seluruh umat manusia.
Namun patut diketahui, dewasa ini konsep Islam, yang sekaligus menjadi jargon utama sebagai agama perdamaian telah mengalami degradasi yang amat signifikan. Hal ini diakibatkan oleh adanya kebrigasan oknum yang mengatas namakan Islam, akan tetapi realitanya sungguh tak berkpeibadian islami. Sebut saja, dengan hadirnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang ingin menegakkan khilafah islamiah di Indonesia, Front Pembela Islam (FPI) yang ingin menjadi “tentara” Islam, dan Islam State Iraq-Suria (ISIS) yang membombardir pelbagai kalangan umat atas nama menegakkan syari’at Islam menjadi problematika rumit Islam.
Dari pernak-pernik kecideraan yang diakibatkan oleh paham radikal tersebut, dua sayap Islam di Indonesia menggagas kajian menarik yang patut diapresiasi, dipelajari, dipahami dan di implementasikan. Dua garda sayap Islam tersebut adalah Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam Nahdlatul Ulama’ dan Muhammdiyah.
Islam Nusantara
Sesuai dengan konsepnya, Nahdlatul Ulama’ (NU) yang menjadi Ormas Islam terbesar di indonesia menjadikan “Islam Nusantara” sebagai tema Muktamarnya ke-33. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU), Said Aqil Siradj menjelaskan, tama Islam Nusantara diambil karena Indoensia merupakan negara yang memiliki beragam kekhususan, ciri, dan tipologi. Selain itu, Aqil juga menuturkan bahwa, Islam di Nusantara jauh jauh lebih sopan dan santun dinadingkan Islam di Arab, yang selalu lekat denga kekerasan.
Faktor lain yang mengakibatkan Tema Islam Nusantara muncul adalah dengan adanya berbagai kultur budaya yang hakikatnya dapat dilebur, yang kemudian mentradisi hingga sekarang ini. Sebut saja “syukuran” (red: sedekah). Jika mempelajari sejarahnya, kita pasti akan terpaut dengan pandangan dunia mistis yang pada dasarnya sangat irasional. Kemudian Islam muncul dengan paradigma para Wali yang cenderung modern, yang pada akhirnya mengubah budaya yang tak rasional menjadi sangat rasional.
Sekilas tentang syukuran, budaya ini, sebelum Islam mucul di Nusantara, pada awalnya digunakan sebagai bentuk persembahan kepada makhluk ghaib. Biasanya berupa potongan ayam, kambing dan semacamnya. Dan rangkaian upacaranya dilakukan saat seseorang sedang mendirikan bangunan. Tujuannya adalah supaya “penunggu” tidak mengganggu keberadaannya.
Kemistisan yang tidak rasional tersebut, yang justru mengakibatkan kesyirikan kemudian diubah oleh para Wali. Caranya dengan memotong ayam, kambing dan sejensnya untuk dipersembahkan kepada fakir-miskin, dan terutama anak yatim-piyatu. Logikanya, dengan bersedekah kepada orang yang membutuhkan, kehidupannya akan dimudahkan oleh sang Pencipta. Lain halnya dengan peleburan budaya. Tema Islam Nusantara juga dilatarbelakangi oleh adanya tiga prinsip dasar. Yakni, Tawassuth, Tawazzun, dan Tasamuh.
Pertama, Tawassuth atau sikap tengah-tengah, atau dengan kata lain tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Hal ini didasarkan dalam firman Allah SWT, “Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian.” (QS al-Baqarah: 143).
Kedua, Tawazzun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits).
Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah SWT, “Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS al-Hadid: 25)
Ketiga, Tasamuh atau toleran. Dalam konteks ini, Islam dilandaskan oleh semangat sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah SWT, “Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.” (QS. Thaha: 44).
Islam Berkemajuan
Tema Islam berkemajuan yang dimuktamarkan Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam Muhammadiyah lebih dominan memandang Islam dalam prinsip “universal”. Sebagaimana yang dipaparkan Din Syamsudin, bahwa semangat Islam Berkemajuan yang akan dibawa ke Muktamar Ke-47 Muhammadiyah dilatarbelakangi pemikiran bahwa Islam memiliki watak yang universal.
Dalam konteks ini, masalah-masalah yang diatasi tidak hanya bernuansa lokal, tapi lebih ke arah yang lebih luas dan universal. Karena itulah, umat Islam tidak bisa terpaku pada dimensi ruang dan waktu. Namun ada satu lagi trobosan terbaru yang dipaparkan Din. Yakni dimensi gerak. Menurutnya, jika memilih dimensi gerak, ada kemungkinan untuk melakukan lompatan. Dengan dasar itulah, Muhammadiyah kali ini mengambil tema dasar Islam Berkemajuan. (Jawa Pos, 28/07/2015).
Dari dua wajah Islam yang dimuktamarkan di atas, diharapkan visi-misi akan segera terimplementasikan. Sehingga, Islam tak lagi dikenal sebagai agama yang hanya menerapkan syari’at saja, namun selebihnya untuk melahirkan nuansa al-islam dinul ‘ilmi was-saqofah, dinul adabi wal hadloroh dinud tamaddun wal insaniyah. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
- Tayang di Harian Rakyat Jateng